(Foto: Toeti Heraty/koran-jakarta.com)

Aku tuntut kalian
ke pengadilan, tanpa pihak yang menghakimi 

siapa tahu, suap-menyuap telah luas menjulang

sampai ke Hakim Tertinggi 

siapa jamin, ia tak berpihak sejak semula

karena dunia, pula semesta, pria yang punya


Penggalan larik di atas merupakan sajak yang berjudul Manifesto ditulis oleh seorang perempuan kelahiran 27 November 1933 di Bandung, sempat menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Indonesia (UI) dan juga menjadi Sarjana Muda Psikologi di Psychologie Gemeentelijke Universiteit Amsterdam. Serta belajar filsafat di Rijk Universiteit dan meraih gelar doktor filsafat di UI pada tahun 1979. Perempuan tersebut adalah Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno. 


Sejak mengetahui adanya sajak tersebut, diriku langsung tertarik mencari lebih dalam dari Toeti Heraty, mulai dari latar belakang hingga tulisan-tulisannya yang dikemas secara apik dan berani menurutku. Ia tak hanya menulis puisi semata, tetapi juga menulis prosa, nonfiksi serta mengemban berbagai jabatan di bidang akademik. 


Toeti Heraty merupakan anak pertama dari Roosseno Soerjohadikoesoemo dan R.A. Oentari. Ayahnya adalah seorang guru besar di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan mantan menteri pada masa pemerintahan Orde Lama. Maka dari itu, Toeti dapat menempuh pendidikan tinggi di masa itu yang mana suatu privilese karena anak dari seorang mantan menteri. Sebab pada waktu itu pendidikan masih sulit diraih apalagi hingga perguruan tinggi bahkan di luar negeri yang mana bagi banyak orang itu hanya khayalan semata. 


Setelah membaca sedikit latar belakang dari Toeti Heraty, terlintas di pikiranku bahwa ia sama saja seperti aktivis masa kini yang teriak-teriak anti penggusuran, tetapi keluarganya merobohkan rumah warga untuk membangun kantor papanya. Ataupun menyuarakan suara kaum-kaum marjinal hanya untuk adsense belaka dan pada intinya ia tak merasakan yang terjadi pada perempuan-perempuan yang sulit untuk bersekolah di masa itu karena faktor ekonomi dan lingkungannya serta tidak terlahir dari orang tua yang berada.


Pencarian saya terhadap Toeti Heraty tak berhenti sampai di situ, dengan modal gawai butut yang terkadang suka bergerak sendiri layarnya dan menumpang wifi dari halte Transjakarta turut mendukungku agar bisa mengetahui lebih jauh mengenalnya. Akhirnya, setelah lebih banyak membaca tentang dirinya pikiran-pikiran skeptis yang saya tulis pada paragraf sebelumnya berangsur-angsur sirna. 


Dengan segala privilese yang dimilikinya, ia memanfaatkan kesempatan tersebut bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang banyak. Sebagai perempuan dengan pendidikan tinggi dan mempunyai jaringan yang luas di kalangan berpengaruh, Toeti membuka pintu-pintu pergerakan pada masa itu.


Seperti pada tahun 1996 ia turut mendirikan sebuah media penting sebagai wadah untuk perlawanan perempuan dan dirinya juga banyak menuangkan buah pikirannya di sana, media tersebut adalah Jurnal Perempuan. Toeti juga aktif terlibat dalam gerakan Suara Ibu Peduli yang mana merupakan salah satu gerakan perempuan yang bergerak memperjuangkan politik perempuan pada masa Orde Baru. 


Toeti dalam berbagai kegiatan sangat gemar mengajak seniman-seniman perempuan Indonesia untuk ikut berkarya bersamanya, salah satu contohnya ia sempat mengorganisir pameran seni rupa di Vatikan serta pernah terlibat sebagai editor buku antologi Selendang Pelangi: Antologi Puisi 17 Perempuan Penyair Indonesia (2006) dan buku tersebut sudah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa. 


Toeti Heraty juga salah satu perempuan yang ingin memberantas dominasi patriarkis yang kerap terjadi bahkan kian membusuk di kalangan sastra. Mulai dari sirkulasi dan kuratorial penyair laki-laki lebih didahulukan puisinya juga lebih cepat tersorot sosoknya. Hal tersebut dapat dikatakan ada ketimpangan dalam dunia sastra, ia melawannya dengan lahirnya sebuah puisi yang berjudul Post Scriptum.


Dengan segala karya-karyanya ia telah meninggalkan kita semua pada 13 Juni 2021. Toeti Heraty dapat dikatakan sepanjang pergerakannya sebagai budayawan, ia memperjuangkan nilai-nilai yang dipercaya melalui menciptakan ruang, seperti institusi, perkumpulan, dan program sambil membimbing generasi selanjutnya dalam hal formal maupun informal. Demikian perjalanan singkat saya dalam menceritakan sosok perempuan yang berusaha melawan patriarki dengan coretan penanya dan tulisan ini akan saya akhiri oleh Post Scriptum semoga hal-hal yang diperjuangkan olehnya masih menempel pada nafas kita semua. 


Ingin aku tulis 

sajak porno sehingga 

kata mentah tidak diubah 

jadi indah, pokoknya 

tidak perlu kiasan lagi

misalnya payudara jadi bukit,

tubuh wanita = alam hangat

senggama = pelukan yang paling akrab


Yang sudah jelas

tulis sajak itu 

antara menyingkap dan sembunyi 

antara munafik dan jatidiri. 





Penulis : Bintang Prakasa

Editor : M. Zacki P. Nasution