(Foto: ilustrasi perempuan dalam pusaran luka/Na'ilah)

Bebas kata mereka adalah pilihan, tapi bagaimana dengan aku yang dipaksa bertahan. Ingin rasanya aku mengutuk keras para sialan yang dengan mudahnya berkata “kau harus terus lanjutkan”. Lalu, dengan 50 butir lorazepam di tangan, aku berpikir nyatanya segala pergulatan harus ada akhiran.

“Bolehkah aku berbaik hati hari ini dan memutuskan berpulang?” tanyaku masih percaya sedikit saktinya kuasa Tuhan.

Mengulang-ulang seperti roda berputar, siapa sangka aku nyata dimainkan dengan piawai oleh kekuasaan yang tak bisa dibantahkan. Dengan segenap keberanian yang tertanam, akhirnya aku enggan memutar arah dan memeluk kembali apa yang kutulis dalam satu tanggalan bahwa ini memang sebaik-baiknya jalan.

Tak usah ucap aku mengkhianati apa yang telah dijadwalkan karena sepanjang lintasan kehidupan aku diseret hingga luka bukan hanya goresan, tapi membumbung jelas ruak tak karuan. Dengan ini kuingkari malam-malam penuh tangisan dengan gelak tawa di atas keragu-raguan yang mencoba diabaikan dalam sekali tegukan penuh ketidakpastian.

Maka, nanti akan kau baca di suatu surat panjang yang kutinggalkan dengan kesungguhan hati, aku tulis pada akhir sebuah catatan kaki berharap bisa menjadi suatu peninggalan, diabadikan dan tersimpan dalam kenangan yang tak terlupakan meski mengenaskan.

Dari itu kuucapkan selamat dan hiduplah kalian yang memenangkan dunia, bersoraklah karena tidak dipecundangi dan dikalahkan oleh realitas jahat ataupun ketidakadilan yang datang tanpa undangan.




Penulis : Na'ilah Panrita Hartono