(Foto: gapura hunian sementara Kampung Bayam/Na'ilah)

Marhaen, Jakarta - Polemik Kelompok Tani Kampung Bayam Madani terus bergulir, nasib mereka kini terjebak dalam tanda tanya lantaran proses mediasi antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) belum juga ada kejelasan.

Mediasi tersebut dilakukan akibat adanya kisruh yang terjadi pada 5 Mei 2024 lalu menjadi momen di mana Warga yang sempat menempati hunian Kampung Susun Bayam yang berada di sekitar Jakarta International Stadium (JIS) dipaksa untuk angkat kaki dari tempat tinggal mereka karena dianggap telah meninggali kawasan tersebut dengan illegal.

Kenyataannya, menurut pandangan Muhammad Furqon selaku ketua kelompok tani Kampung Bayam, mereka telah diserahterimakan untuk menempati kawasan tersebut. Ia pun sempat dipenjarakan atas tuduhan Pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pencurian dengan Pemberatan.

“Kita Warga Kampung Bayam dan aku pribadi bukan maling kok kita hanya menanyakan hak dan apa yang dimaling yakan? Air kita buat galian, listrik kita patungan pake genset, terus apa yang dirusak? Saat kunci sudah diserahterimakan rumah tersebut memang tidak dikunci kok kan memang sudah diberikan, terus apalagi? dan saya juga tiba tiba dipenjara,” jelasnya. Jumat (28/06/2024).

Selain itu, akibat dari adanya problematika ini mereka yang merupakan mayoritas petani kini juga telah kehilangan mata pencaharian dan terpaksa mencari pekerjaan lain yang dirasa bukan pekerjaan yang seharusnya karena sejatinya para warga di sana mencari penghidupan dari bertani.

“Sekarang aku sedang mencari disposisi bingung kan, bagaimana caranya pemerintah harus menunjukan dan pertanggungjawaban kemandirian kami dikembalikan lagi, karena dulu kan kami orang yang mandiri. Sekarang kami ya bisa dibilang bekerja liar ada yang mulung ada yang di proyek pecah kan jadinya, artinya bukan pecah kelompok taninya tapi ya kami harus tetap memenuhi kebutuhan ekonomi kan begitu,” ujarnya.

Furqon juga merasa upaya yang dilakukan pemerintah kini tidak lain tidak bukan hanya berupaya mengalihkan profesi para petani untuk bekerja di bidang lain dan termasuk dalam perampasan atas hak ruang hidup. Menurutnya jika hal itu terjadi, para petani di sini akan mengikuti pelatihan-pelatihan begitu saja sepanjang hidupnya, sedangkan kehidupan keluarga mereka harus terus berjalan.

Lain hal lagi, kekecewaan diungkapkan oleh salah satu warga kelompok tani tersebut perihal proses pemindahan paksa yang dilakukan, lantaran saat itu adanya banyak aparat diturunkan sehingga tidak sebanding dengan mereka yang hanya terdiri dari 35 Kartu Keluarga (KK).

“Ada (tindak pemukulan), tapi kan ga sampe chaos, tapi mah harapan polisi chaos bayangin 35 KK terus merekanya kayanya ratusan. Padahal cuman pengen ngusir kami aja kan. Mengapa harus begini kenapa tidak musyawarah aja sama warga kan harapan warga sendiri bisa bertemu saja dengan yang bersangkutan duduk bareng itu kan yang diinginkan,” tutur Joko. Jumat (28/06/2024).

Adapun harapan terhadap pemerintah untuk penyediaan tanah karena untuk pengairan nanti telah disiapkan agar kegiatan bertani yang dulu dilakukan dapat dijalankan kembali. Mereka merasa hidup yang dulunya mandiri kini telah dimiskinkan dan dibuat seolah mengemis atau meminta-minta kepada pemerintah. Dengan adanya penyediaan hal tersebut masyarakat Kampung Bayam percaya akan dapat membangun kembali hidup.

Hal ini pun didukung dengan kesiapan mereka untuk kembali bertani. Adanya Rencana mereka akan memanfaatkan lahan-lahan di sekitar hunian sementara yang kini mereka tempati di Jalan Tongkol No.10 Pademangan, Jakarta Utara, untuk menanam beberapa bibit secara konvensional maupun hidroponik.




Penulis : Na'ilah Panrita Hartono
Editor : M. Zacki P. Nasution