Marhaen, Jakarta - Aksi penolakan terhadap dianulirnya dua putusan Mahkamah Konstitusi, yakni Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 serta Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dilakukan di berbagai daerah pada Kamis (22/08/2024), diwarnai dengan terjadinya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam penanganan massa aksi.
Salah satu titik aksi bertempat di depan Gedung DPR, Jl. Gatot Subroto No.1, Jakarta Selatan. Situasi sempat memanas sebab massa aksi berhasil masuk ke dalam gedung. Pada saat tersebut aparat melakukan beberapa pelanggaran HAM dengan dalih ‘membubarkan’ massa aksi.
Bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan salah satu diantaranya adalah tindakan brutalitas oleh pihak Kepolisian serta Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat proses penanganan massa aksi. Hal tersebut pun disampaikan oleh Andri Yunus, Kepala Divisi Hukum Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS).
“Dari satuan Brigadir Mobil itu melakukan kekerasan fisik menggunakan tongkat yang digunakan sebagai alat mengamankan kemudian digunakan sebagai alat kekerasan terhadap massa aksi,” ujarnya pada Konfrensi Pers yang dilakukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Indonesia melalui kanal YouTube-nya. Jumat (23/08/2024).
Tak hanya menggunakan kekerasan fisik saja, aparat kembali menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa. Penggunaan gas air mata mempunyai Standar Operasional Prosedur (SOP) pengamanan rusuh yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 memiliki beberapa tahapan. Sayangnya hal itu tidak diindahkan dan gas air mata ditembakan ke berbagai arah.
“Kami melihat penembakan gas air mata secara brutal di lapangan dan itu dilakukan tidak terukur karena menembakan ke berbagai arah begitu dan itu sangat membahayakan, tidak hanya massa aksi yang menjadi korban gas air mata, namun juga ada warga sipil yang tidak ikut aksi tetapi terdampak gas air mata.” tambahnya.
Kemudian, Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) mengungkapkan adanya penghalangan yang dilakukan oleh aparat untuk akses bantuan hukum dan juga terjadinya pelanggaran terhadap Hukum Acara Pidana kepada para massa aksi yang dibawa ke Polda Metro Jaya untuk diproses hukum.
“Pihak Polda Metro Jaya langsung melakukan tindakan-tindakan yang bagi kami adalah ‘pelecehan’ terhadap marwah profesi yang bagi kami adalah tindakan yang menghalang-halangi kerja dan profesionalitas kami sebagai advokat dan sebagai pemberi bantuan hukum. Kami dihadang, dihalang-halangi, diteriaki dan diberikan argumentasi yang tidak logis dan tidak mempunyai dasar hukum.” ujar Fadhil Alfathan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Fadhil mengatakan, terdapat dua alasan yang selalu dikeluarkan Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya, yaitu yang pertama belum adanya kedudukan hukum untuk mendampingi para massa aksi karena belum adanya surat kuasa antara TAUD dengan para massa aksi yang dibawa ke Polda Metro Jaya. Kemudian yang kedua ialah belum adanya perintah atau arahan dari atasan. Dua alasan tersebut kerap dijadikan alasan untuk menghalangi akses untuk bantuan hukum bukan hanya pada kejadian kemarin, tetapi bahkan pada tahun-tahun sebelumnya.
Penulis : M. Zacki P. Nasution
Editor : Bintang Prakasa
0 Comments