(Foto : ilustrasi colorism/caranora)

Diskriminasi warna kulit masih terjadi di berbagai belahan dunia hingga saat ini, hal tersebut dikarenakan adanya pengelompokan manusia berdasarkan ras-ras tertentu. Diskriminasi warna kulit merupakan hubungan sebab akibat antara ciri fisik suatu ras dengan kepribadian, kecerdasan, moralitas, dan ciri-ciri budaya dan perilaku lainnya, yang membuat beberapa ras secara ‘bawaan’ lebih unggul dari yang lain.

Dari pengelompokan ras berubah menjadikan pemahaman yang keliru. Karena ada ras-ras tertentu merasa bahwa ia merupakan ras yang paling murni dan paling sempurna. Kata “putih” awalnya ditujukan kepada orang-orang Eropa dan pertama kali digunakan oleh Thomas Middleton dalam sebuah drama The Triumph of Truth yang dipentaskan pada awal abad ke-15. Drama ini menceritakan raja di Afrika yang tengah berada di kerumunan orang-orang Inggris dan berkata, “Saya melihat keheranan di wajah orang-orang kulit putih ini”.


“Putih” yang awalnya hanya sebuah kata, berubah menjadi pengelompokan antara satu ras dengan ras yang lainnya. Pengelompokan berdasarkan ras ini menyebabkan ketimpangan yang nyata. Membuat mereka (orang-orang dengan ras tertentu) merasa memiliki rasa terbaik dan pantas mendiskriminasi orang-orang yang berbeda dengan mereka.


Diskriminasi ini berkembang menjadi kolonialisme dan perbudakan, yang menjalar ke negara-negara Asia dan Afrika. Perbedaan warna kulit antara penduduk asli di negara jajahan dan bangsa Barat memunculkan pemahaman yang keliru sebagai dasar pembedaan ras, yang memang merupakan kenyataan faktual.


Dilansir dari theconversation.com Desember 2022, Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, meminta maaf  atas praktik perbudakan yang dilakukan negaranya di masa lalu dan menyebutnya sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan”. Salah satu contoh perbudakannya adalah ketika Belanda memperdagangkan sebanyak 600.000 orang Afrika ke benua Amerika pada tahun 1814.


Ketimpangan Sosial dan Stereotype Warna Kulit


(Foto : ilustrasi warna kulit perempuan/FleshTone.Net)

Dilansir dari Amnesty International Data di Amerika Serikat menunjukkan bahwa setiap satu juta populasi orang kulit hitam, terdapat 30 orang yang tewas ditembak polisi, sedangkan untuk orang kulit putih, hanya 12 orang yang mengalami hal serupa. Data ini mengindikasikan dugaan rasisme atau diskriminasi terhadap orang berkulit lebih gelap.


Dengan kekhawatiran akan alasan yang menyesatkan tersebut membuat orang berlomba-lomba mengejar standar kecantikan tertentu salah satunya memiliki warna kulit putih. Meskipun alasan yang dikemukakan seringkali berfokus pada menghindari diskriminasi, kebenaran sebenarnya adalah kecantikan tidak terbatas pada warna kulit. Meski demikian, tak sedikit yang bersusah payah dan mengeluarkan sejumlah besar uang untuk meraih impian kulit putih pada umumnya, terkhusus untuk para perempuan. 


Namun, tidak semua orang memiliki anggaran yang mencukupi untuk perawatan tersebut. Oleh karena itu, banyak yang mencari jalan pintas untuk mendapatkan kulit putih, dan beberapa di antaranya menggunakan produk dengan kandungan merkuri, yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan.


Kita tidak perlu mengkotak-kotakan warna kulit, karena hal tersebut tidak dapat dipilih saat lahir. Warna kulit, ras, dan fisik tidak mencerminkan nilai seseorang. Menilai individu berdasarkan atribut ini tampaknya bertentangan dengan prinsip dasar bahwa nilai sejati seseorang tidak bisa dipengaruhi atau dinilai berdasarkan warna kulitnya.


Selain perbudakan, pembagian peran pemain protagonis dan antagonis dalam film juga dipengaruhi berdasarkan ras serta warna kulit tertentu. Hal ini juga terjadi di Indonesia Seperti individu yang berwarna kulit hitam atau dengan ras tertentu diberikan peran sebagai penjahat, begitu sebaliknya. Hal tersebut makin memperparah kesesatan stereotype ini.


Keinginan Akan Perubahan 


(foto: ilustrasi standar kecantikan/courageousconversation.com)

Semangat perubahan mulai mengubah pandangan ini. Semakin banyak perempuan yang berani menunjukkan warna kulit yang berbeda, mereka dengan bangga dan mengejar definisi kecantikan yang lebih sesuai dengan identitas mereka. Mereka menunjukkan kepada dunia bahwa kecantikan itu datang dalam berbagai warna dan bentuk.

Colorism tidak hanya terjadi pada perempuan, Agar pembaca dapat lebih mengerti, saya akan memberikan contoh dari salah satu korban kesesatan perspektif warna kulit. Korban yang kita bicarakan adalah Michael Jackson dengan julukan King Of Pop (Raja Musik Pop). Ia terlahir dengan warna kulit hitam, berjalannya waktu warna kulitnya berubah menjadi putih.


Dengan menolak diskriminasi berdasarkan warna kulit dan mengejar standar kecantikan yang ada dapat membantu menyadarkan dunia dari kesesatan yang ada. Maka kita bisa membantu menyadarkan banyak perempuan agar bisa lebih memaknai arti “cantik” sesungguhnya. Menyayangi diri dan bersyukur atas apa yang dimiliki adalah langkah pertama untuk melawan colorism. Tak perlu mendengarkan omongan orang yang menghina karena warna kulit yang lebih gelap.


Dalam masyarakat yang semakin inklusif dan berpendidikan, semoga kita dapat meniadakan diskriminasi berdasarkan warna kulit dan mempromosikan kecantikan yang lebih sehat dan bervariasi. Semua manusia harus merasa nyaman dengan diri mereka sendiri, tanpa perlu mengikuti standar yang tidak realistis.





Penulis : Dinda Aulia

Editor : M. Zacki P. Nasution