Judul : Tempat Terbaik di Dunia: Pengalaman Seorang Antropolog Tinggal di Kawasan Kumuh Jakarta
Penulis : Roanne Van Voorst
Penerbit : Marjin Kiri
ISBN : 978-979-1260-79-4
Jumlah Halaman : 192
Tahun Terbit : 2018
Diterjemahkan oleh : Martha Dwi Susilowati
Roanne Van Voorst merupakan seorang antropolog, peneliti dan dosen asal Belanda. Menerbitkan buku pertama kali pada tahun 2010 tentang kaum muda imigran di Belanda dan pada tahun 2016 kembali menerbitkan buku yang berjudul De beste plek ter wereld: Leven in de sloppen van Jakarta. Kemudian diterbitkan di Indonesia oleh Marjin Kiri pada 2018 dengan judul Tempat Terbaik di Dunia: Pengalaman Seorang Antropolog Tinggal di Kawasan Kumuh Jakarta.
Jakarta dengan segala ingar bingar dan gemerlapnya terkadang membuat kita luput bahwa ada warga-warga di sekitar yang hari-harinya harus merasakan kegetiran juga kecemasan karena dilanda kemiskinan dan sewaktu-waktu ruang hidupnya akan sirna dilahap banjir ataupun digusur dengan cara tak berperikemanusiaan oleh aparat. Hal-hal tersebut akan dibahas Roanne menggunakan metode observasi partisipatif, yaitu ia terlibat dalam kegiatan sehari-hari yang sedang diamati atau sumber data penelitian.
Buku ini dibagi dalam 7 (tujuh) bab yang mana tiap bab menceritakan pengalamannya saat tinggal di kawasan kumuh Jakarta dan nama-nama di buku ini sengaja menggunakan nama samaran atas kemauan Roanne sendiri untuk menjaga privasi dan keselamatan mereka. Bahkan, nama kampung dalam buku ini, yaitu Bantaran Kali adalah bukan nama sebenarnya.
Dalam halaman 3 (tiga), pembaca langsung disambut dengan pandangan pejabat pemerintah menganggap penghuni perkampungan kumuh mengalami kemiskinan karena ulahnya sendiri serta berperilaku kriminal, agresif dan malas. Padahal, kemiskinan itu terjadi bukan karena ulahnya sendiri, salah satu contohnya adalah mereka tidak bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas mengakibatkan susahnya mencari pekerjaan dengan gaji sepadan.
Roanne juga menyinggung sedikit mengenai gagasan romantik mengenai kehidupan di kampung kumuh menganggap kaum miskin adalah orang-orang rajin dan giat berusaha. Bahkan, hal tersebut juga diaminkan oleh beberapa ilmuwan yang mendalami teori terkait kemiskinan di kawasan kumuh. Faktanya adalah saat Roanne di Bantaran Kali, ia mendatangi banyak orang dan hasilnya ada yang melakukan pekerjaan seharian suntuk, tetapi ada juga dalam satu hari hampir tidak berkegiatan apa-apa. Menurut orang itu ketika memiliki uang untuk sebatang rokok, segelas kopi, serta makan siang itu sudah cukup sehingga gagasan romantik seperti itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Selama berkeliling dan mewawancarai warga Bantaran Kali, Roanne tidak menggunakan laptop dan kamera, hal tersebut ia lakukan bukan karena barang mewah itu takut dicuri melainkan merasa tidak nyaman karena terlalu kontras dengan kemiskinan yang dilihatnya di sekitar sehingga pulpen dan buku yang menemaninya selama melakukan penelitian. Gambaran seperti itu mungkin jarang terlihat pada saat ini karena aktivis-aktivis di Jakarta gemar menggunakan barang mahal walaupun berada di perkampungan kumuh sekalipun.
Pengalaman yang dirasakan Roanne mulai dari melihat warga Bantaran Kali gotong royong mempersiapkan saat banjir akan datang ataupun setelah air menyerang, membeli barang rusak untuk direparasi agar bisa dijual lebih mahal untuk bertahan hidup serta ia melihat mayoritas warga tak memercayai dokter karena banyak nyawa kerabat dan keluarganya hilang begitu saja lantaran tidak ditangani semestinya sebab dianggap tak mampu membayar.
Buku tipis ini mampu menggambarkan emosi dan keadaan yang terjadi pada warga-warga Bantaran Kali serta pemilihan diksi dan gaya bahasa dalam buku ini mudah dipahami. Tulisan ini akan saya tutup dengan perkataan Tikus (salah satu warga Bantaran Kali) kepada Roanne, setelah warga diusir paksa oleh aparat dan kampung tersebut sudah rata dengan tanah.
“Ya, kamu bisa melakukan sesuatu. Kamu bisa menulis tentang kami, kan? Tentang bagaimana dulunya di sini, juga tidak adil dan sungguh disayangkan semua ini dirusak? Suara kami tak pernah didengar karena kami cuma penghuni kampung kumuh. Tapi, kata-katamu setidaknya masih akan mendapat perhatian! Kamu bisa menceritakan kisah kami pada dunia.”
Penulis : Bintang Prakasa
Editor : M. Zacki P. Nasution
0 Comments