(Foto: ilustrasi polisi melakukan penganiayaan/Tribunnews.com)

Kasus penyiksaan oleh oknum aparat penegak hukum, khususnya polisi, kembali terjadi. Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan kasus tewasnya Afif Maulana, yang diduga akibat penyiksaan. Kasus ini menambah deretan panjang tragedi serupa yang seolah tak kunjung usai. 

Data dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menunjukkan bahwa dari Juli 2023 hingga Juni 2024, terjadi 645 kasus kekerasan yang melibatkan polisi. Insiden-insiden ini menyebabkan 38 kematian dan 759 orang mengalami luka-luka. Dalam analisis bulanan, tercatat 58 kasus kekerasan oleh polisi pada Juli 2023. Angka ini meningkat menjadi 66 kasus pada September 2023, yang merupakan jumlah tertinggi dalam setahun terakhir. Pada Desember 2023, jumlah kasus kekerasan oleh polisi menurun ke titik terendah dengan 42 kasus. Namun, angka tersebut kembali meningkat pada tahun 2024, mencapai 53 kasus pada Juni 2024.

Menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), istilah "penyiksaan" berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. 

Hak untuk bebas dari praktik-praktik penyiksaan merupakan salah satu dari hak fundamental atau hak dasar dalam HAM yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi dalam keadaan atau situasi apapun (non derogable rights) yang tercantum dalam Pasal 5 Universal Deklarasi Hak Asasi Manusia, Pasal 7 Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi ke dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1998, Pasal 28 g ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang HAM, Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang menyebutkan penyiksaan sebagai bagian dari kejahatan sistematis.

Siklus Penyiksaan yang Tak Berakhir

(Foto: polisi memukuli mahasiswa/Bbc.com)

Kejadian kerap kali bermula saat seseorang yang baru diduga melakukan suatu tindak pidana, ditangkap dengan sewenang-wenang dan mengalami penyiksaan karena polisi tidak mengikuti prosedur yang ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seperti kasus Afif Maulana yang diduga mengalami penyiksaan oleh Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat (Kapolda Sumbar) hingga tewas. Sampai saat ini, kasus tersebut belum mendapat titik terang. Tindakan yang dilakukan Kapolda Sumbar merupakan tindakan keliru dan tidak mengedepankan serta menaati prosedur hukum yang berlaku.

Biasanya, pada kasus penyiksaan lain, korban berada dalam kondisi sehat sebelum ditangkap. Setelah penangkapan, mereka dibawa ke ruang detensi untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Namun, proses ini seringkali disertai dengan tindakan penyiksaan oleh polisi dengan tujuan memaksa pengakuan atas suatu tindak pidana. Akibatnya, korban sering ditemukan dengan luka-luka di tubuh mereka, dan banyak yang meninggal di dalam tahanan. Tindakan ini melanggar UU HAM, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Kovenan Menentang Penyiksaan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), KUHAP.

Beberapa faktor menjadi pemicu utama kasus penyiksaan menunjukkan bahwa terdapat kultur tertentu yang disebabkan oleh tekanan untuk menghasilkan hasil cepat dalam penanganan kasus kriminal sehingga dapat menyebabkan ketidakpahaman terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia, sehingga memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Dari berbagai kejadian yang dilakukan polisi, terlihat bahwa pengakuan dari tersangka memudahkan kelancaran proses hukum selanjutnya sehingga ancaman dan penyiksaan sering digunakan sebagai cara cepat untuk mendapatkan pengakuan tersebut. Namun, hal tersebut tidak tepat karena penyiksaan tidak dibenarkan untuk dilakukan. Selain itu, korban penyiksaan masih kesulitan mengakses upaya hukum terhadap tindakan penyimpangan tersebut. Meskipun telah ada mekanisme praperadilan, mekanisme ini dianggap belum cukup efektif. Selain itu, aparat sering kali mengabaikan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum sebagaimana yang dijamin dalam KUHAP.

Kepolisian sebenarnya sudah memiliki regulasi internal berupa Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Penerapan Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada Pasal 11 Perkap tersebut, dinyatakan bahwa petugas/anggota dilarang melakukan penyiksaan terhadap tahanan atau orang yang diduga terlibat dalam kejahatan. Selain itu, kepolisian juga memiliki Perkap Kode Etik yang mengatur tentang penyelesaian pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian. Sayangnya, peraturan Kapolri tersebut belum secara jelas merumuskan pelaksanaan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam sidang Komisi Kode Etik Kepolisian (KKEP).

Penegakan Hukum Hanya Bersifat Formalistik 

(Foto: ilustrasi penegakan hukum yang bersifat formalistik/hukumonline.com)

Dalam beberapa kasus, tindak pidana seperti penyiksaan hanya diselesaikan melalui mekanisme disiplin dan etik. Pendekatan ini tentu bertentangan dengan prinsip equality before the law yang mengharuskan semua anggota masyarakat mendapatkan perlakuan hukum yang setara. Pemberian sanksi terhadap pelaku penyiksaan selama ini cenderung diselesaikan melalui mekanisme internal atau berdasarkan kebiasaan institusi, seperti hukuman yang dijatuhkan oleh atasan sehingga dapat menciptakan preseden buruk dan mendorong terulangnya tindakan serupa. 

Penyelesaian yang jauh dari prinsip transparan dan akuntabel tak akan menimbulkan efek jera. Hal itu menjadi komponen utama yang menyebabkan sulitnya penegakan hukum dalam kasus penyiksaan. Orang-orang yang bersalah seringkali terlindungi dengan dalih menjaga nama baik institusi dan sedikit pengawasan. Selain itu, investigasi yang dilakukan seringkali rumit, yang menghambat proses penyelesaian kasus.

Agar praktik penyiksaan dalam proses penangkapan dan penahanan dapat dihilangkan, diperlukan perubahan signifikan melalui revisi KUHAP yang memungkinkan adanya pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny). Hal ini penting untuk menyelesaikan akar masalah yang berasal dari kewenangan berlebihan yang dimiliki polisi dalam melakukan penangkapan dan penahanan tanpa pengawasan yang memadai. Selama ini, penangkapan dan penahanan sering kali dilakukan oleh polisi dengan mudah berdasarkan penilaian mereka sendiri. Oleh karena itu, KUHAP harus diubah untuk memastikan adanya mekanisme yang mengharuskan polisi membawa tersangka ke hadapan hakim setelah penangkapan. Hakim akan menilai apakah penahanan diperlukan dan memeriksa kondisi tersangka. Dengan cara ini, kejadian praktik penyiksaan dalam proses penangkapan dan penahanan dapat diminimalisir.

Penyiksaan bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga kejahatan terhadap kemanusiaan. Masa depan penegakan hukum di Indonesia bergantung pada komitmen dan keseriusan semua pihak untuk memberantas praktik ini. Fenomena ini tidak hanya mencoreng citra institusi kepolisian, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum secara keseluruhan. 

Dengan banyaknya kasus penyiksaan oleh polisi, reformasi di tubuh Kepolisian harus dilakukan secara serius. Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh dan komprehensif agar dapat menyentuh akar permasalahan. Proses pendidikan anggota perlu dirancang agar efektif dalam menanamkan nilai-nilai anti kekerasan. Kultur kepolisian yang selama ini melegitimasi tindakan penyiksaan juga harus diubah secara bertahap. Diskresi yang luas harus disertai dengan pengawasan yang ketat.




Penulis : Devi Oktaviana
Editor : M. Zacki P. Nasution