(Foto: ilustrasi pemberian penghargaan kepada pelanggar HAM berat/Bintang)

Marhaen, Jakarta - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menggelar diskusi publik dengan topik pembicaraan mengenai “Jokowi Obral Tanda Jasa, Impunitas Merajalela” dilakukan secara live streaming di kanal Youtube-nya. Rabu (28/08/2024). 

Seperti tema dalam diskusi publik kali ini, yaitu membahas bagaimana sudah dua periode (10 tahun) Joko Widodo menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, banyak janji-janji yang ditawarkan ataupun diberikan kepada rakyat dan salah satunya adalah penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, kenyataannya adalah Presiden Jokowi malah memberikan penghargaan berupa tanda jasa kepada para pelaku penjahat HAM berat, yaitu Eurico Guterres dan Prabowo Subianto.

Padahal, Eurico Guterres merupakan mantan Panglima Pejuang Integrasi (PPI) dan juga Komandan Milisi Aitarak yang terlibat kasus Timor Timur pada tahun 1999. Namanya masuk dalam daftar pelaku yang disidangkan di Pengadilan HAM Ad Hoc pada tahun 2002. Akan tetapi, pada 12 Agustus 2021 Presiden Jokowi menyematkan Bintang Jasa Utama kepadanya. 

“Ini menimbulkan penolakan tidak hanya dari teman-teman yang ada di Indonesia apalagi memang teman-teman yang berjuang untuk penuntasan kasus kejahatan HAM di Indonesia, tapi juga teman-teman yang ada di Timor Leste saat ini, keluarga korban yang ada di Timor Leste saat ini. Mempertanyakan sebenarnya  apa urgensi dari Presiden Jokowi memberikan penghargaan berupa tanda jasa, yaitu bintang jasa utama kepada seseorang yang jelas-jelas punya rekam jejak tangan berdarah,” ujar Jane Rosalina perwakilan dari KontraS. 

Lalu untuk mempertanyakan hal mengenai apakah pemberian tanda jasa sudah melalui prosedur yang benar, pihak KontraS pada tahun 2021 mengirimkan permohonan informasi publik, tetapi baik Kementerian Sekretariat Negara maupun dari pihak Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan tidak memenuhi permohonan tersebut. Kemudian membawa kasus ini ke Komisi Informasi Pusat dengan mekanisme penyelesaian sengketa informasi publik dan pada tahun 2023 diputuskan di tingkat Komisi Informasi Pusat bahwa informasi tersebut harus dibuka ke publik. 

“Nah, berarti tandanya ada hal yang kemudian tidak dilakukan secara benar dalam proses ini, yaitu proses keterbukaan. Padahal, di dalam mandat Undang-Undang 20 Tahun 2009 tentang Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, menandakan bahwa pemberian gelar, tanda jasa, tanda kehormatan itu harus dilakukan berdasarkan asas keterbukaan yang artinya dia harus dilakukan dengan cara transparan, terbuka, dan dapat dikontrol oleh publik,” tambahnya. 

Kemudian publik kembali dihebohkan pada 28 Februari 2024, Presiden Jokowi menyematkan pangkat kehormatan sebagai bentuk penghargaan kepada pelaku kejahatan kemanusiaan terhadap kasus penculikan dan penghilangan paksa pada tahun 97–98, yakni Prabowo Subianto. 

“Saya melihat, mendengar pada waktu itu Jokowi memberikan pangkat istimewa untuk bintang empat kepada Prabowo saya sempat kaget, saya sempat berdiskusi dengan Pak Payan. Akhirnya Pak Payan bilang bahwasanya ini kita perlu tanyakan langsung kepada Presiden dan Pak Payan pun berpikiran bahwasanya di momen pemilu kemarin itu Pak Payan dan saya menganggap ini adalah sebuah transaksi politik. Dan kembali ke nawacita Presiden Joko Widodo yang saya pikir itu sudah membohongi keluarga korban dan semua orang itu sudah menunjukkan bahwasanya memang Jokowi tidak empati, Jokowi tidak memikirkan rasa hati keluarga korban,” tegas Hardingga perwakilan dari keluarga korban penghilangan orang secara paksa 1997/1998. 




Penulis: Bintang Prakasa 

Editor: M. Zacki P. Nasution