(Foto: ilustrasi Pak Dodot/kompasiana)

“Ngelamun aja kamu, dek,” ucap ibu melihat anak laki-lakinya, Beno yang berusia 12 tahun itu hanya termenung dengan menumpukan kepala dengan kedua tangannya di atas meja teras rumahnya. Beno sudah sejak pagi hanya menatap langit tanpa berbicara satu kata pun sehingga hal tersebut sedikit membuat sang ibu cemas. Terik matahari perlahan mulai terasa menyengat, seakan bisa melelehkan krayon yang tergeletak berceceran di atas meja itu. 

“Beno bingung, bu,” keluhnya. Mendengar anaknya sedang dalam kesulitan, ibu duduk di samping Beno dan mengelus kepala anaknya. “Kamu bingung kenapa, sini cerita sama ibu,” jawab lembut sang ibu.

“Beno dapat tugas menggambar cita-cita, tapi Beno masih bingung harus menggambar apa, besok Beno harus maju buat ceritain cita-cita Beno di depan kelas,” ujar Beno. 

“Memang Beno belum punya cita-cita?” tanya ibu.

“Belum, Bu. Beno gatau mau jadi apa sudah besar nanti,” jawab Beno dengan kebingungannya.

Ibu mau saja membantu Beno memberikan nasihat dan saran namun ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Sebagai seorang ibu tentu saja akan mendukung semua cita-cita anaknya dengan memberikan dukungan penuh. Ibu memberi sedikit saran kepada Beno untuk berpikir apa yang sedang digemari atau disukai, mungkin saja Beno akan terpikirkan sesuatu. Toh, cita-cita mungkin saja berubah seiring bertambahnya usia. 

“Ibu dan Beno sedang apa di teras?” tanya sang kakak, Muti yang keluar dari dalam rumah.

“Ini kak, adekmu lagi bingung mikirin cita-citanya untuk tugas,” jawab ibu. 

“Kalau kakak, cita-citanya apa?” ucap Beno penasaran.

“Kalau Kakak mau jadi dokter, biar bisa obati Bapak dan Ibu kalo lagi sakit,” jawab kakak dengan bangga.

“Sekolah jadi dokter kan mahal, kita mana bisa. Bapak dan Ibu saja sudah pontang-panting cari duit untuk kita makan, apalagi bayar buat sekolah dokter yang mahal itu,” ujar sang adik.

“Biar saja, nanti aku akan cari beasiswa untuk orang tidak mampu seperti kita sampai ke ujung dunia. Kalau kamu sakit jangan coba-coba temui aku!” tidak terima dengan perkataan adiknya, Muti membalas perkataan adiknya dengan sedikit kesal. Ibu yang melihat hal tersebut hanya bisa geleng kepala, karena pemandangan ini sudah tidak menjadi hal yang asing untuknya. 

“Sudah-sudah jangan bertengkar. Dek, Ibu mau minta tolong belikan lauk untuk makan siang nanti, sekalian belikan untuk bapak juga di kebun,” ucap ibu sambil mengeluarkan uang tiga puluh ribu dari dalam dompetnya.

“Beli apa ini bu, kita aja ada empat orang kenapa cuman tiga puluh ribu?” tanya Beno.

“Kemarin pulang dari kebun ibu lihat Bu Ninik mulai berjualan lauk lebih murah dari Bu Dede katanya sih mau saingan, ikan tongkol balado saja cuman tujuh ribu lima ratus,” jawab ibu.

“Baiklah ibu, Beno jalan dulu. Assalamualaikum.”

Berbekal uang dan sebungkus nasi untuk bapak dari ibunya, Beno mulai berjalan ke rumah Bu Ninik untuk membeli lauk makan siang. Sambil berjalan, ia masih berpikir apa yang harus dilukis untuk tugas menggambar cita-citanya tersebut. Setelah membeli lauk di rumah Bu Ninik, Beno lanjut berjalan menuju kebun untuk mengantar makan siang. 

Dalam perjalanan, Beno melihat ada keramaian warga mendengarkan seseorang yang sedang berbicara dengan pengeras suara di dekat pos ronda. Sedikit penasaran, Beno berhenti sejenak untuk mendengarkan lalu segera melanjutkan perjalanan menuju kebun sebelum bapaknya kelaparan.

Akhirnya hari dimana Beno akan menceritakan apa yang menjadi cita-citanya di depan kelas telah tiba. Menunggu gilirannya, Beno mendengarkan cita-cita teman kelasnya, ada yang ingin menjadi pilot, polisi, wartawan, dan lain-lain. Setelah dipersilahkan oleh ibu guru, dengan percaya diri Beno membawa hasil karyanya dan berjalan menuju ke depan kelas dengan bangga.

“Beno, silahkan ceritakan cita-citamu kepada teman-teman,” ucap ibu guru mempersilahkan.

“Cita-cita saya ingin menjadi Pak Dodot.”

“Kenapa Beno ingin jadi Pak Dodot?” tanya ibu guru penasaran.

“Kemarin Beno dengar Pak Dodot sedang berbicara di pos ronda, katanya kalau dia berhasil jadi pak lurah akan ada bantuan untuk warga kampung Beno setiap minggunya. Berarti Pak Dodot itu sangat kaya, Beno ingin seperti Pak Dodot, siapa tau Beno bisa bantu kakak untuk sekolah menjadi dokter, jadi karena itu Beno bercita-cita ingin menjadi seperti Pak Dodot.”




Penulis : Salsabila Ananda Nurhaliza