(Foto: sedang berlangsungnya diskusi/Bintang)

Marhaen, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengadakan diskusi publik mengenai “Revisi UU Polri: Ancaman Bagi Hak Asasi, Negara Hukum, dan Demokrasi” di Rumah Belajar ICW, Jakarta Selatan serta ditayangkan langsung di kanal YouTube YLBHI. Jumat (09/08/2024). 

Pembicara pada diskusi publik tersebut adalah perwakilan dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), ICW, dan YLBHI serta dihadiri oleh elemen masyarakat sipil lainnya yang turut membahas mengenai ancaman yang disebabkan oleh Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri tersebut. 

Jika dilihat dari sisi substansi dengan adanya perluasan kewenangan, tetapi tidak disertai peraturan yang tegas terkait pengawasan terhadap pelaksanaan aparaturnya dikhawatirkan institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akan menjadi institusi superbody. Serta dari segi proses dilakukan secara mendadak dan juga sembunyi-sembunyi. 

“Soal hak atas informasi saja kita tidak mendapatkan secara benar, hak kita sudah dirampas. Dengan rancangan undang-undang resminya saja, naskah akademiknya kita tidak dapat. Terus bagaimana kita bisa dapat menilai aspek ancamannya kalo tidak baca substansinya, ya dari situ saja sudah mengancam salah satu hak kita sebagai warga negara. Hak atas informasi,” ujar Arif Maulana selaku Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI. 

Selain prosesnya tidak transparansi, pasal-pasal dalam RUU Polri tersebut juga semakin membatasi warga negara dalam meraih hak-nya, yakni hak kebebasan berpendapat dan berekspresi seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Akan tetapi, dalam Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) dari RUU Polri, memperkenankan Polri melakukan pengamanan, pembinaan, dan pengawasan terhadap ruang siber. Disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, serta memperlambat akses ruang siber bertujuan keamanan dalam negeri. 

Namun, sejauh ini tindakan memperlambat dan memutus akses internet bukan untuk keamanan dalam negeri, tetapi meredam aksi masyarakat sipil seperti salah satu contohnya adalah yang terjadi pada tahun 2019 di Papua dan Papua Barat sehingga campur tangan Polri mengenai tindakan pembatasan ruang siber dinilai membredel hak kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi seluruh warga negara. 

“Saya kira penting, makanya dari itu kita semua, teman-teman mahasiswa yang ada di sini melihat dengan lebih komprehensif, lebih luas kepentingan politik dibalik rancangan undang-undang ini dan saya kira kita semua tentu sepakat ketika kita melihat dampaknya yang sangat serius bagi masa depan demokrasi kita ke depan. Termasuk juga hak-hak warga negara yang akan semakin terancam,” tambahnya. 





Penulis : Bintang Prakasa

Editor : Muhammad Zacki P. Nasution