(Foto : ilustrasi rumah pengidap hoarding disorder/merdeka.com) 

Marhaen, Jakarta - Hoarding Disorder adalah perilaku gemar mengumpulkan barang-barang yang sudah tidak terpakai karena beranggapan akan dipakai di kemudian hari. Ini merupakan gangguan kejiwaan yang dapat dimulai sejak usia remaja 11-15 tahun dan kian tahun kian memburuk bersamaan bertambahnya umur.

Bagi mereka yang terkena Hoarding Disorder, menyimpan barang-barang yang sudah tidak terpakai akan membawa rasa aman, mereka merasa nyaman hidup berdampingan dengan barang-barang tersebut meski menyebabkan penumpukan barang di rumah, mengganggu estetika dan terkadang mengeluarkan bau tidak sedap. Pengidapnya cenderung tidak menyadari bahwa kebiasaan mereka merupakan sebuah gangguan yang memerlukan bantuan profesional. 

Gangguan Hoarding Disorder kerap kali dikaitkan dengan stres berlebih, maupun depresi. Namun, faktanya keduanya merupakan hal yang berbeda, meski salah satu penyebab Hoarding Disorder dapat dipicu karena stres, tetapi ada faktor-faktor lain yang dapat memicu gangguan ini. Adapun penyebab terjadinya kondisi ini, antara lain: 

1. Perilaku Sosial
(Foto : Perilaku sosial pengidap hoarding disorder/Mayo clinic, Cleveland clinic) 

Dapat dilihat dari kepribadiannya, pengidap umumnya merupakan pribadi yang tempramen, plin plan dan ragu-ragu. 

2. Genetik 
(Foto : ilustrasi genetik pengidap hoarding disorder/OCD.uk) 

Besar kemungkinan anak yang terkena gangguan ini diturunkan oleh orang tuanya. 

3. Tekanan 
(Foto : ilustrasi tekanan yang diterima pengidap hoarding disorder/Mayo clinic, Cleveland clinic) 

Kehidupan penuh tekanan, pengalaman traumatis, atau kemiskinan dapat menjadi pemicu.

Namun, tidak ada penyebab yang jelas, mengapa individu terkena gangguan ini. Bisa saja karena genetik ataupun kehidupan yang penuh tekanan dan traumatis seperti bencana alam, maupun kemiskinan yang membuat orang dalam gangguan ini tidak mau berpisah dengan harta benda yang mereka punya. Adapun beberapa cara yang dapat diterapkan menangani kondisi ini, diantaranya:

1. Terapi Kognitif-Perilaku (CBT) 
(Foto : ilustrasi terapi kognitif/iStockphoto)

Terapi ini efektif dalam membantu pengidap mengubah pola pikir dan perilaku terkait penyimpanan barang.

2. Keterlibatan Keluarga dan Dukungan Sosial
(Foto : ilustrasi dukungan keluarga/iStockphoto) 

Dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar sangat penting, seperti mengingatkan betapa pentingnya kebersihan dan akibat yang akan diterima jika tetap menerapkan gaya hidup seperti itu dan dukungan emosional tentunya akan sangat berarti untuk pengobatan pasien.

3. Konsultasi dengan Psikolog atau Psikiater
(Foto : ilustrasi pengobatan tenaga profesional kesehatan mental/peopleimages)
 
Langkah ini perlu untuk diagnosis lebih lanjut dan mendapatkan rencana perawatan yang sesuai oleh tenaga profesional kesehatan mental, agar tidak asal dalam mendiagnosa penyakit mengakibatkan salah penanganannya.

Meski terlihat tidak mengancam Hoarding Disorder, bisa berbahaya jika dibiarkan dan tidak diobati. Karena dapat memberi dampak negatif secara signifikan terhadap pengidap kepada hubungan sosial, aktivitas sehari-hari, hingga pekerjaan. Kamu bisa menghubungi psikolog dan psikiater jika kamu mengalami kesulitan membuang barang yang sudah tidak diperlukan.





Penulis : Dinda Aulia

Editor : Muhammad Zacki P. Nasution