(Foto: ilustrasi 20 tahun kasus kematian Munir/Zacki) 

Marhaen, Jakarta -  Pada 7 September 2024 tepat menjadi 20 tahun meninggalnya seorang yang dikenal sering mengadvokasi beberapa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, yakni Munir Said Thalib.

Munir meninggal di pesawat saat sedang menuju Amsterdam, Belanda untuk melanjutkan kuliahnya di sana. Setelahnya, Nederlands Forensisch Instituut (NFI) atau Institut Forensik Belanda menemukan racun arsenik dengan dosis tak wajar di dalam tubuhnya. Munir diduga dibunuh dengan cara diracun melalui makanannya.

Sebelum kematiannya, Munir memang tengah menyuarakan kritiknya terhadap kebijakan pemerintah, yaitu pada Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI 2004 dan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tahun 2004. Kemudian, selang beberapa waktu setelah kematian Munir, kedua Undang-Undang tersebut akhirnya disahkan. 

(Foto: sedang berlangsung konferensi pers/Zacki)

“Pembunuhan itu juga bisa diartikan sebagai usaha untuk membunuh partisipasi warga, para aktivis di dalam melahirkan kebijakan yang adil. Kebijakan pembangunan, keamanan, atau kebijakan penyelesaian masalah HAM di masa lalu,” ujar Usman Hamid Tim Pencari Fakta (TPF) yang juga merupakan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia pada Konferensi Pers di kanal Youtube Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Jumat (06/09/2024). 

Usman juga mengatakan dalam Undang-Undang HAM, pembunuhan yang dilakukan kepada Munir bisa dikatakan sebagai pembunuhan di luar hukum atau Extra Judicial Killing karena ia dibunuh di luar atau tanpa proses peradilan. Sedangkan, dalam lensa pengadilan merupakan kejahatan terhadap manusia berupa serangan tertuju kepada penduduk sipil yang mengandung unsur sistematis dalam pembunuhannya.

Akan tetapi, meski telah 20 tahun berlalu, Usman Hamid mengatakan negara seakan tidak menunjukan adanya sikap inisiatif untuk mengungkapkan kebenaran serta penyelesaian di balik kasus kematian munir. Ia juga menyampaikan kekecewaannya terhadap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

“Disitulah kita bertanya-tanya, kenapa begitu lama lembaga seperti Komnas HAM yang telah memiliki mandat untuk melaksanakan pemeriksaan perkara-perkara kejahatan yang menurut sifat dan lingkupnya sebagai pelanggaran HAM berat. Terlalu lama Komnas HAM menjalankan penyelidikan ini, bertele-tele,” imbuhnya.

Diva Suukyi Larasati, anak bungsu dari Alm. Munir masih memiliki tuntutan yang sama dan menagih kembali janji-janji pemerintah yang mengatakan akan menyelesaikan tuntas kasus tersebut, mulai dari masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga akhir kepemimpinan Joko Widodo.

“Sampai sekarang belum loh, 20 tahun tuntutan saya sama sampai sekarang, tuntutan ibu saya sama sampai sekarang, berikan keadilan kepada bapak saya. Berikan keadilan kepada seluruh warga Indonesia. Tunjukan bahwa Indonesia mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM,” ujarnya.




Penulis : M. Zacki P. Nasution 

Editor : Bintang Prakasa