(Foto: Francisca C. Fanggidaej/bbc.com)

Marhaen, Jakarta - Francisca Casparina Fanggidaej atau akrab dipanggil Sisca lahir pada 16 Agustus 1925, di Noelmina, Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur dari ibu rumah tangga Magda Mael dan ayah Gottlieb Fanggidaej yang bekerja sebagai kepala pengawas Burgerlijke Openbare Warken (Dinas Pekerjaan Umum). Dengan pekerjaan ayahnya tersebut, keluarga Sisca memiliki status hukum yang sama dengan orang Belanda hingga kerap dipanggil “Belanda Hitam”.

Sisca menempuh sekolah dasar di Europeesche Lagere School (Sekolah Dasar Eropa) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (Sekolah Menengah Pertama). Semasa kecilnya, Sisca bersekolah dengan keturunan Belanda, bahkan ia hanya diizinkan berbicara bahasa Belanda di rumah.

Situasi ini membuat Sisca merasa terheran mengapa orang-orang yang mempunyai warna kulit sama dengannya harus menunduk, berjalan jongkok, dan hormat kepada orang tuanya. Kegelisahan Sisca memuncak saat mengetahui bahwa keluarganya juga menerima perlakuan rasisme. Meski memiliki status yang setara, ia mengetahui bahwa ayahnya pernah direndahkan oleh orang Belanda karena memiliki kulit berwarna.

Kesadaran akan antikolonialisme yang dirasakan Sisca semakin terasa saat ia sering berdiskusi dengan pemuda-pemuda Maluku saat masa pendudukan Jepang di Surabaya. Memiliki pandangan berbeda dengan kedua orang tuanya, menjadikan Sisca tumbuh dan bergabung dengan Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Surabaya.


Perjalanan setelah Kemerdekaan hingga Diasingkan

Bersama dengan PRI, Sisca mengikuti Kongres Pemuda Seluruh Indonesia (Pesindo) di Yogyakarta pada 10-11 November 1945 yang melahirkan organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Di sinilah Sisca mulai belajar mempraktekkan kerja pers dengan menulis artikel untuk diterbitkan.

Selain Pesindo, Sisca juga aktif dalam Badan Kongres Pemuda Indonesia (BKPRI). Di Bawah BPKRI, ia pindah ke Madiun dan aktif bersama Yetty Zain untuk siaran dalam bahasa Inggris dan Belanda di Radio Gelora Pemoeda, menyampaikan informasi mengenai kondisi yang sedang terjadi di Indonesia.

Ketika kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pesindo pindah ke Solo pada 1947, Sisca pergi ke Eropa untuk menghadiri konferensi International University Students (IUS) dan World Federation of Democratic Youth. (WFDY) Praha, lalu kemudian ditugaskan untuk melakukan Safari Revolusi ke berbagai negara untuk mewakili Indonesia menghadiri Konferensi Kalkuta di India pada 1948. Pada 1957, ia terpilih menjadi Dewan Perwakilan Rakyat mewakili wartawan dalam Golongan Karya yang selanjutnya diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai penasihat presiden hingga kerap mendampingi Sukarno selama kunjungan ke Aljazair.

Ketika Sisca sedang melakukan perjalanan ke luar negeri, peristiwa G30S pecah di Indonesia tahun 1965 setelah Soeharto menjadi presiden. Sisca mengecam penganiayaan militer terhadap pemimpin Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan menolak kehadiran delegasi pro-Soeharto yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Latief Hendraningrat ke konferensi di Kuba. Akibatnya, Soeharto memblokir paspor Fransisca dan rekannya hingga tidak bisa pulang ke Indonesia.

Suaminya Supriyo ditangkap, rumah mereka dijarah sehingga membuat anak-anaknya harus dirawat oleh keluarga terdekat. Supriyo di penjara selama 12 tahun, meski berada di luar negeri, tersebar foto Sisca ditempel ditempat umum dengan narasi “Tangkap hidup atau mati Fransisca”.

Sisca terpaksa menyembunyikan identitasnya lalu menetap di China hampir 20 tahun dan akhirnya menetap di Belanda sejak 1985. Setelah reformasi 1998, Sisca dan rekannya dipersilahkan pulang oleh presiden keempat, yakni Abdurrahman Wahid setelah hampir 40 tahun diasingkan. Akan tetapi, ia tetap memilih untuk tetap tinggal di kota Zeist, Belanda hingga meninggal di usia 88 tahun pada 13 November 2013.





Penulis : Salsabila Ananda Nurhaliza
Editor : M. Zacki P. Nasution