(Foto: ilustrasi roh yang sedang gentayangan mengenggam uluran tangan/Na'ilah)

Layaknya sebuah ledakan, aku tiba dan hadir ke dunia dalam suasana haru penuh tangis, di hari hari yang tak pasti aku tumbuh menjadi kenyataan yang harus dijalani. Persetan dengan hidup yang menurutku ilusi, aku dijejali benci dan juga nafsu mereka yang tak lain tak bukan orang yang membawaku ke bumi.

Pukul empat dini hari, kantuk tak juga menjumpaiku. Sudah 3 hari mataku tak mau terpejam, syaraf-syaraf di otakku mungkin sudah merasa tercekik tegang. Setiap kali aku mencoba, dunia terasa runtuh dan gempa seakan terjadi di tempat tidurku. Ayah dan ibu bilang ini halusinasiku saja karena belum menenggak Alprazolam selama seminggu. Jujur bukan tanpa alasan, tapi pastinya aku benci dan sudah lelah berkali-kali meminum obat sialan itu.

Akhirnya kuputuskan untuk menenggaknya hari ini, tapi bukan satu melainkan puluhan agar nantinya cukup hari ini saja tak usah ada esok lagi. Kutenggak dengan yakin dan percaya bahwa ini jawaban dari persoalanku selama ini. Aku tak mau lagi lengah dimasukkan rumah sakit jiwa atau bertemu psikiater ataupun psikolog ku yang berbicara bahwa hidup akan lebih baik kalau aku terus berusaha dan mencoba.

Malam itu berakhir konyol, aku bangun keesokan pagi di tempat tidurku. Namun, suasana terasa hening gumamku dalam hati sebab biasanya ibuku sudah berteriak mencuci piring bekas adikku yang seperti raja itu atau ayahku yang tanpa belas kasih memanggilku layaknya budak di rumah ini. Aku terdiam dalam keheningan itu sambil mencoba mengangkat tubuhku berjalan keluar melihat kenapa bisa begini.

Sungguh rasanya aku ingin lari ngibrit melihat apa yang aku saksikan sebagai orang yang penakut, aku yakin kalian akan mengerti bagaimana horornya suasana ini. “Siapa itu?” Tanyaku sambil melihat seorang perempuan tua yang rasanya aku kenal, sedang menangisi fotoku dalam bingkai kecil.

Kutanya sekali lagi sambil mendekat dengan pertanyaan sama “Siapa itu? Mengapa kau menangisiku wanita tua?” Ujarku, tapi ia tak juga merespon apapun. Kupandangi ia dengan perasaan takut-takut karena bisa saja dia hantu nenek gayung yang bertamu mengunjungiku. Ia hanya terus menangis dan menangis hingga akhirnya dia mulai meratapi dinding tempat di mana ibuku suka mengukur tinggiku di sebuah tembok ruang tengah rumahku.

“Samsara andai kau di sini bersama ibu bukan mengakhiri hidupmu 15 tahun lalu, mungkin adikmu masih punya kakak dan ayah ibumu ini tak perlu menanggung duka sebegininya ataupun malu,” ucap wanita tua itu yang ternyata ibuku. Hari itu aku sadar hidup memanglah sialan, aku telah mati dan bangkit belasan tahun kemudian, hanya untuk mendengar keegoisannya saja.

Aku yang kesal dibangkitkan hari itu meski hanya menjadi roh gentayangan yang tidak kelihatan. Kembali ke kamar dan mencoba menghubungi tuhan dengan nomor ponsel yang malaikat catat di sebelah surat bunuh diriku. Kupencet satu per satu tombol di handphone yang sering dipakai nonton porno saat kadang nafsu memuncak dan penisku jadi tegang.

Dalam layar handphone itu, WhatsApp Tuhan berdering artinya dia sedang aktif tak seperti kemarin, saat aku hidup ia selalu dalam mode memanggil. Akhirnya setelah 2 kali miss call panggilan terhubung dan senang rasanya bisa bicara dengannya.

Namun, tak lupa aku komplain dulu pada tuhan kira-kira percakapanku begini “Tuhan, apa benar ini engkau?” “Iya Samsara hambaku yang arti namanya jarang orang tahu, ada apa?” Jawab Tuhan kepadaku. “Makasih telah menyuruh malaikat menitipkan nomormu padaku” ucap ku berterima kasih dahulu. “Iya, sama-sama itu biar kau mudah menghubungiku, tak susah seperti dulu agar kau banyak cerita padaku, berkeluh kesah, bertanya dan meminta padaku” ujarnya membalas ucapan terima kasihku.

“Begini Tuhan aku mau sedikit komplain. Mengapa hidup dan matiku harus menyaksikan egoistis orang tuaku saja?” ucapku dengan sedikit mendengus. “Begini hambaku Samsara, itu cuplikan sebetulnya bagaimana mereka mau. Kau mati atau tidak, tak ada berubahnya. Mereka lupa kau adalah buah hati bukan buah tangan yang dibeli untuk dijadikan pajangan.” Jawabnya tegas.

“Hmm, tapi kenapa tuhan kalau memang begitu kau biarkan aku melihat itu lagi meski aku sudah mati dan kau biarkan aku bangkit jadi roh gentayangan setelah belasan tahun. Apa kau sengaja Tuhan?” tanyaku menuduh Tuhan. “Bukan begitu hambaku, sebenarnya itu begini. Aku hanya mau memperlihatkan bahwa caramu tak mengubah mereka yang sekonyong-konyongnya padamu sebab mereka telah merubah cinta menjadi api dan bersisa debu yang tak pernah mau mereka sapu,” ceritanya tenang. Tiba tiba operator layanan kartu SIM-ku memberi peringatan bahwa pulsaku habis. Aku pun menggerutu kesal memaki “Ah bajingan ini layanan belum selesai telpon tapi tiba-tiba mati apa tidak bisa menunggu sebentar sampai aku ketemu jawabannya.”

Kutaruh kembali dan berharap balik ke alam barzah, sebab jujur saja kali ini aku lelah tak berujung, tapi rasanya ganjil ketika aku mulai merebahkan diri dan tak berbuat apa-apa karena bagaimana caranya aku kembali lagi tadi kan Tuhan belum jelaskan semua dan aku belum sempat bertanya. Sekali lagi aku seakan-akan dipaksa melakukan aktivitas orang hidup, yaitu berpikir. Padahal aku kan sudah mati.

Aku menerka-nerka arti dari “Cinta berubah jadi api lalu menjadi debu yang tak pernah disapu” aku tulis di belakang secarik kertas surat bunuh diriku mencoba mengurai satu per satu sambil menggumam di dalam hati “Yang pertama cinta itu kan nafsu, lalu api itukan panas, mungkin nafsu buat panas hot kaya film porno bule itu kali ya,” aku pun terkikik mengingat celotehan yang tiba-tiba kepikiran tadi.

Setelah tertawa menertawai diriku yang bodoh aku mulai kembali fokus sambil menulis kembali, “Cinta sama dengan nafsu, api panas? Anjing apa sih artinya. Sialan!” gerutuku dan tak melanjutkan lagi menulis. Akhirnya aku kembali ke ruang tengah, ibu masih meneteskan air mata, tapi aku tak terlalu peduli aku malah mencari ke mana ayah dan adikku yang sialan itu.

Kususuri tiap sudut rumah mencari keberadaan mereka tak juga kutemukan. Sampai aku ke gudang belakang tempat di mana aku dulu biasa dihukum tak diberi makan. Aku temukan sebuah surat cerai berdebu. Ternyata ayah dan ibu bercerai tak lama setelah aku bunuh diri. Aku sekali lagi kembali ke ruang tengah melihat ibu semakin menjadi tak mau berhenti menyudahi tangis yang ia tahu tak membawaku kembali hidup lagi. Ia mulai meracau tak jelas sampai akhirnya kutahu benar saja mengapa bukan salahku mereka bercerai “Dasar laki-laki sialan anak mati kau malah bersetubuh sana sini dengan pelacur” ucapannya saat itu.

“Ibu gimana sih ayah kan memang begitu. Sudah dia hanya laki-laki nafsuan yang berpikir ibu sudah tak menarik lagi setelah menurutnya melahirkan itu turun mesin dua kali,” ucapku kesal dan berharap ia dengar itu. Aku kembali ke kamar tidur dan mulai kembali fokus pada tulisan tadi yang kutuliskan. “Kayaknya aku sudah mulai ngerti nih, cinta itu berujung nafsu lalu berubah api itu maksudnya mungkin semakin nafsu karena tidak juga puas.” ujarku dalam hati sambil merasa sok pintar bisa menyelesaikan misteri.

Namun, aku berhenti sambil menikmati sebotol ciu yang kusimpan di dalam tas karena pikirku begini “Hidup sudah tegang, pas mati harus bisa santai tak usah terlalu serius.” Sebotol ciu kuhabiskan, aku resmi jadi roh gentayangan yang sedang mabuk. Aku yang teler tak lama ketiduran, terbangun mendengar suara pintu depan diketuk kencang sambil ada suara yang sedikit kukenal, tapi terdengar lebih berat sebab pubertas. Saat kubuka pintu kamar sempoyongan, aku lihat ibu telah berada di sana bersiap juga membukakan pintu untuk laki-laki muda itu yang tak lain tak bukan adik sialanku itu.

“Bu, mana uangnya? Duit Tanha habis buat judi dan mabuk kemarin, belum lagi birahi ini harus dilepas ke perempuan yang sudah kusewa lewat aplikasi. Ayolah bu apa ga kasian?” Meminta paksa pada ibu. “Tanha kamu tau kan ibu sudah tidak bekerja dan ayah sudah pergi nak, jangan begini terus kamu harus perbaiki hidup.” Mohon ibu kepada adikku Tanha sialan.

“Dasar wanita ga becus makanya anak lo itu mati satu, lo mau gue mati juga ya?” Ucapnya kasar kepada ibu yang rambutnya memutih seperti salju. Ibu memang perempuan yang tak berdaya ia luluh sama anaknya yang sialan itu sebab tak lama ia mengambil beberapa pecahan uang dari dompet hitam usang yang entah kapan ia beli.

Aku lelah dengan drama keluarga ini aku memutuskan kembali ke kamar dan berusaha memecahkan teka-teki dari Tuhan. “Tadi sudah sampai di api sekarang menjadi abu. Hmm, aku juga sudah tau abu itu maksudnya dari rasa ketidakpuasan seseorang tak pernah ada rasa penyesalan karena tak merasa cukup dan yang terakhir tak pernah di sapu, apa ya….” tanyaku dalam hati sambil mencoret-coret lagi.

Aku merenung dan melihat kamarku yang berdebu tak pernah disapu. Rasanya kotor, suram dan buram. Di situ juga kutemukan akhir potongan teka-teki Tuhan. “Tak pernah disapu artinya tanpa penyesalan, hatinya akan selalu kotor begitu sepertinya sungguh aku ini cerdas” berbicara dalam hati kegirangan.

Akhirnya hari itu kutemukan sudah teka-teki maksud Tuhan, meski belum bertanya kepada Tuhan bagaimana caranya kembali ke alam sana, tapi aku pikir cukup dengan menyelesaikan teka-teki yang Tuhan berikan tadi itu akan menjadi suatu jawaban.

Hari itu aku enggan kembali ke belasan tahun lalu ataupun memilih hari ini bangkit jadi roh gentayangan super sial dan melelahkan. Aku biarkan jalan takdirku begini dan tak lama aku mengisi pulsa dan kembali menelpon Tuhan bukan tak mau dari tadi roh gentayangan ini memang roh penasaran jadinya ia mau cari-cari dahulu.

“Tuhan aku sudah temukan apa maksudmu tadi. Maaf, saya kehabisan pulsa untuk menelponmu kembali. Tapi tadi ada kucing yang bersaksi bahwa saya pernah memberinya makan saat lapar. Berkat itu, saya mendapat tambahan pahala,” ucapku langsung kepada Tuhan saat telepon tersambung. “Baiklah terima kasih telah jadi roh penasaran yang pintar, nanti tutup matamu lagi dan kau akan berada di alam lain, serta jangan kau pilih ada di bumi ini bahkan di kehidupan selanjutnya.” Tuhan memperingatkan, maka aku lakukan itu semua dan tak pernah lahir lagi.




Penulis : Na'ilah Panrita Hartono