(Foto: cover buku gadis pantai/uniquejune.blogspot.co.id) 

Judul Buku : Gadis Pantai

Pengarang : Pramoedya Ananta Toer 

Penerbit : Lentera Dipantara

ISBN : 978-979-97312-0-3

Jumlah Halaman : 270

Gadis Pantai ini menceritakan mengenai betapa kerasnya feodalisme Jawa terhadap seorang gadis berasal dari keluarga nelayan miskin yang berada di pesisir pantai. Ia berusia 14 tahun memiliki kulit kuning langsat bertubuh kecil mungil dan disunting oleh seorang priyayi.

Awal buku ini menceritakan keheranannya seorang gadis untuk pertama kalinya dibawa ke luar dari kampung nelayan. Setelah lamanya perjalanan, kusir memberhentikan dokarnya di depan rumah yang sangat besar, bahkan saking besarnya tidak ada dalam bayangan gadis itu.

Lalu, ia dinikahkan secara paksa dengan sang pemilik rumah, seorang priyayi Jawa yang kemudian dipanggil Bendoro. Orang tua dan seorang kusir yang mengantarnya kembali ke kampung nelayan, meninggalkan dirinya sedang menangis. Kehidupannya benar-benar berubah dalam satu hari. Ia sudah menjadi istri seorang pembesar, namanya hampir tidak pernah disebut. Semua memanggilnya “Mas Nganten”. 

Gadis Pantai menjalani kehidupan barunya ditemani oleh seorang pelayan tua yang selalu mengurus segala kebutuhannya, sekaligus menjadi teman tempatnya berbagi cerita. Perlahan, ia mulai merasakan kebahagiaan dalam pernikahannya karena Bendoro dengan sabar berhasil mengambil hatinya. 

Tahun demi tahun berlalu sampai terjadi sebuah masalah yang mengakibatkan pelayan tua harus pergi dari rumah, satu hal yang diucap hingga membuatnya diusir Bendoro adalah “Bagi orang semacam sahaya, Bendoro, sebenarnya tidak ada hukuman lagi, hidup pun sudah hukuman”.

Kepergian pelayan tua membuat Gadis Pantai sedih. Ia meminta izin Bendoro mengunjungi orang tuanya di kampung Nelayan, Bendoro mengizinkan dengan syarat ia harus ditemani Mardinah (pelayan muda, pengganti pelayan sebelumnya). Ia pergi menggunakan dokar sewaan ditemani oleh pelayan baru, kusir, dan barang belanjaan. 

Sesampainya di kampung nelayan sikap warga di sana berubah, semua menghormatinya seolah-olah ia tidak pernah hidup di sana. Warga kampung nelayan memenuhi rumahnya, berbaik hati membantu dan menyambut kepulangannya. Namun, ia tidak melihat ketulusan di sana, statusnya sekarang membuat ia tidak mengenal dirinya sendiri. 

Setelah ia kembali ke rumah Bendoro di kota, Gadis Pantai jatuh sakit, belakangan diketahui ia sedang mengandung, setelah mengetahui hal tersebut sikap Bendoro kepadanya perlahan berubah. Bendoro tidak pernah lagi menghampiri kamarnya, dan tidak begitu memperhatikannya. 

Novel ini sangat cocok dibaca oleh remaja, maupun dewasa karena terdapat pertanyaan dan pernyataan kritis mengenai kehidupan masyarakat di masa itu. Berlatar tahun sama dengan Tetralogi Buru yang ditulis Pramoedya. Karya fiksi ini juga sebagai wadah Pramoedya mengkritik dan menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat miskin di masa itu. 

Terdapat kekurangan seperti detail tokoh, dan cerita karena Gadis Pantai merupakan unfinished novel karena buku ini merupakan awal dari  trilogi novel. Namun, buku kedua dan ketiga terkena Vandalisme dari tentara purba 1965, yang membuat saya merasa sedikit kentang dengan ending dari buku ini.

Walaupun terdapat kekurangan, novel ini tetap layak untuk dibaca. Gadis Pantai merupakan novel fiksi, tetapi penulis berhasil menyampaikan imajinasinya dengan sangat baik, karena kisah dan tokoh-tokoh Pramoedya diangkat berdasarkan pengalaman sejarah sosial-budaya masyarakat Indonesia.





Penulis : Dinda Aulia

Editor : M. Zacki P. Nasution