(Foto: ilustrasi senioritas yang sering terjadi/Bintang)

“Baru segitu aja udah ngeluh, dasar cengeng lo. Itu tuh gak ada apa-apanya dibanding zaman gue dulu.” 

Perkataan seperti itu sudah menempel di kepala Firman, sejak Sekolah Dasar (SD) sampai masuk Perguruan Tinggi, ia selalu mendapatkan kata-kata seperti itu dari seniornya. Firman merupakan mahasiswa baru di salah satu Perguruan Tinggi yang jauh dari tempat tinggalnya. 

Awalnya, ia ingin masuk perguruan tinggi dekat rumahnya supaya bisa menghemat pengeluaran orang tuanya, tetapi nasib baik sedang tak berkawan dengannya sehingga ia harus kuliah jauh dari tempat tinggal dan orang tuanya. 

Seminggu sebelum perkuliahan dimulai, Firman dan orang tuanya berangkat menggunakan kereta ekonomi menuju kontrakan dekat kampus yang telah dipesan dari jauh hari. Sesampainya di kontrakan, mereka beristirahat sebentar dan selepas asar ia ditemani ibunya berbelanja kasur, kipas angin, serta lemari untuk mengisi kamar kontrakannya. 

Orang tuanya menemani anaknya sampai masa perpeloncoan atau diperhalus dengan sebutan Perkenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) dimulai. Firman membaca pesan bahwa saat PKKMB diharuskan menggunakan name tag depan belakang dan warna yang sudah disesuaikan. 

“Katanya ini Perguruan Tinggi, tapi kok harus pake name tag begini segala udah kayak sapi,” ujarnya kesal seusai membaca perintah tak masuk akal.

Ayahnya juga mengetahui mengenai anaknya harus memakai name tag tersebut saat PKKMB dan mengingatkan Firman agar segera membuatnya. Akan tetapi, Firman tidak membuat ataupun memakai name tag tersebut karena menurutnya itu adalah hal bodoh dan sia-sia. 

Pada hari pertama ia terpaksa menjalankan masa perpeloncoan tersebut, ia menyiapkan diri dari selesai salat subuh dan tak lupa memakan nasi goreng buatan ibunya serta sebelum berangkat tak lupa berpamitan kepada orang tuanya dan minta didoakan lancar hari-harinya.

“Man, ibu sama ayah siang ini harus udah pulang ke rumah, kamu yang bener kuliahnya jangan neko-neko, terus salat 5 waktunya jangan sampai ketinggalan, kalo ada apa-apa telpon ibu ya,” pesan ibunya kepada Firman saat ingin berangkat kuliah. 

“Iya bu, Firman aman di sini, yang penting doain aku terus bu biar lancar semuanya,” jawabnya dan langsung pamit menuju kampus.

Ia memesan ojek online karena waktu sudah menunjukkan pukul 07.05 sementara ia diharuskan datang 07.00, tetapi sesampainya di sana meja-meja pendaftaran masih kosong belum ada satupun panitia bahkan meja itu belum dibersihkan dan belum dikenakan taplak meja yang rapih. 

Saat pukul 07.25 panitia-panitia tersebut baru sampai dan terburu-buru menyiapkan meja pendaftaran, lembar kehadiran, serta membariskan mahasiswa baru yang sudah menggerutu karena bosan menunggu. 

Saya dan mahasiswa baru yang lain disuruh baris sesuai fakultas masing-masing ditandai oleh warna name tag yang sudah disesuaikan, tetapi karena saya tidak memakai hal bodoh tersebut sehingga hal itu menjadi sasaran bagi panitia-panitia yang ingin unjuk kuasa. 

Name tag lo mana? Gak baca pengumuman yang udah dikasih? Minggir lo dari barisan, disuruh kayak gitu aja gak becus,” bentak Joe salah satu panitia PKKMB. 

Setelah keluar dari barisan, saya disuruh lari 7 putaran dan dijemur selama setengah jam, tetapi hal itu tak cukup memuaskan hati bagi panitia yang ingin unjuk kuasa ini. Ia menyuruhku untuk bernyanyi dan menari di depan mahasiswa baru lainnya, setelah itu saya ditertawai oleh panitia-panitia tersebut. 

Selama masa PKKMB tersebut, Firman mengalami langsung ataupun melihat mahasiswa baru yang ditertawakan dan dipermalukan oleh panitia-panitia itu, perlakuan menjijikkan tersebut masih terjadi dalam lingkup yang katanya diisi oleh kaum berpendidikan. Ternyata, perilakunya lebih kerdil daripada hewan melata. 

Perpeloncoan tersebut tak berhenti sampai di situ, masih banyak lagi tindakan nyeleneh yang dilakukan kepada saya dan mahasiswa baru lainnya. Seperti Hamdan yang mana teman satu kelas, ia disuruh jalan jongkok saat ingin membeli makan ke kantin oleh senior tengik itu. 

“Cape banget gue man, udah laper, malah harus disuruh jalan jongkok segala. Mau ngelawan, tapi dia rame banget man,” keluh Hamdan kepada Firman saat jalan pulang selesai kuliah. 

Karena sudah bosan dengan perpeloncoan tersebut, Firman bergabung dengan salah satu Organisasi Kemahasiswaan yang menurutnya jauh dari hal-hal kuno senioritas karena kegiatannya bergerak di bidang literasi. Akan tetapi, perkiraannya salah, di organisasi yang membanggakan diri mengenai baca, tulis, serta diskusi itu juga melakukan perpeloncoan. Mulai dari, disuruh belikan rokok atau kopi, dipermalukan di depan banyak orang, dan juga disuruh push up jika terlambat.

Lalu, pada suatu hari, Firman tak kuat menanggung kesabarannya dengan selalu menerima perpeloncoan dari Sekolah Dasar hingga kini di Perguruan Tinggi oleh seniornya, tiap hari ia dihantui rasa was-was memikirkan tindakan apalagi yang dilakukan senior itu kepadanya. Akhirnya pada Jumat pagi, orang-orang di kampus berteriak dan berlarian ke segala arah. Mereka melihat ada lima kepala tergantung di pagar kampusnya. 




Penulis : Bintang Prakasa