(Foto: ilustrasi belenggu perlindungan pers mahasiswa/persma.id)

Marhaen, Jakarta -  Penangkapan Jurnalis Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Catatan kaki Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar berlangsung dalam aksi kasus kekerasan seksual yang terjadi di Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Kamis (28/11/2024).

Dilansir dari sumsel.idntimes.com, aksi tersebut menuntut pemecatan salah satu dosen FIB Firman Saleh, yang terlibat dalam kasus Kekerasan Seksual (KS) karena terbukti melecehkan seorang mahasiswa dari saat melakukan bimbingan skripsi. Alih-alih dipecat, pihak kampus hanya memberi sanksi pencabutan jabatan dan skorsing selama tiga bulan yang dinilai tak sebanding. 

Jurnalis dari LPM Catatan Kaki yang sedang berada di FIB saat itu untuk mengawal liputan kekerasan seksual, diamankan oleh pihak aparat bersama mahasiswa lainnya ke rektorat sebelum dibawa ke Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Makassar untuk dimintai keterangan. 

“Kayaknya jam setengah 12 kami diambil di sekretariat di FIB, saat itu tiba-tiba orang-orang rektorat bersama satpam dan polisi saat itu mengambil kami di sekret dan alibi diamankan terus kami dibawa ke rektorat. Saya hanya mengira hanya dibawa ke rektorat, tapi ternyata sampai di sana sudah ramai sekali polisi,” ujar Nisa, Pemimpin Redaksi LPM Catatan Kaki.

Nisa menjadi mahasiswa yang terakhir dibebaskan, ditemani oleh pendamping hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Nisa kembali melakukan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di kantor polisi dan dalam BAP tersebut ia dilaporkan dengan dugaan pencemaran nama baik. 

Hal ini tidak sesuai dengan Perjanjian Kerjasama antara Dewan Pers dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Teknis Pelaksanaan Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terhadap Penyalahgunaan Profesi Wartawan tahun 2022, dan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Aturan tersebut menjelaskan bahwa Dewan Pers yang memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan laporan melalui mekanisme hak jawab dan hak koreksi, serta melindungi kemerdekaan pers. 

Selain itu, adanya kebebasan berpendapat dalam lingkungan akademik bisa dikaitkan dengan pasal 28 E ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun setelah pelaporan ini, kebebasan tersebut belum lagi dimiliki oleh mahasiswa Unhas maupun jurnalis dari LPM Catatan Kaki. 

“Sampai saat ini sebenarnya Unhas masih menyuruh kami untuk tidak mengeluarkan produk-produk dulu, jadi kami menyimpulkan Unhas masih benar-benar mengekang kebebasan bersuara, kebebasan pers. Kami seperti media pada umumnya membuka hak jawab atau hak koreksi dan kami tidak mendapat hak koreksi dari rektorat melainkan mereka mengumpul tulisan-tulisan kami atau liputan-liputan kami dan dilaporkan padahal kayak kami membutuhkan juga saran,” jelas Nisa.




Penulis : Salsabila Ananda Nurhaliza 

Editor : Bintang Prakasa