(Foto: ilustrasi "Feeling Unsafe" karya Gilsasm/remotivi.or.id)

Kurasa matahari hanya berjarak tiga jengkal saja dari kepalaku, keringat bercucuran membuat baju dan rambutku lepek,  belum lagi kumpulan klakson yang membuatku pening, dan trotoar Salemba dipenuhi lalu-lalang motor karena kemacetan sudah meluap serta Catcalling dari laki-laki katrok di sepanjang jalan.

Keruwetan itu terjadi berulang kali saat aku berangkat ataupun pulang kuliah, hal tersebut sudah menjadi makanan sehari-hari buatku. Terlebih aku masih menggunakan transportasi umum dan terkadang pulang agak larut malam yang membuat situasi tersebut semakin semrawut. Seperti, saat aku harus berdempetan di Kereta Rel Listrik (KRL) di situ bukan hanya rasa sumpek dan pengap yang aku rasakan, tetapi aku juga takut dengan mata laki-laki yang berkeliaran mengikuti diriku, apalagi akhir-akhir ini banyak sekali kasus pelecehan seksual terjadi. 

Sepanjang tahun 2024 KAI Commuter mencatat ada 57 kasus pelecehan seksual yang terjadi, hal tersebut tentunya membuat diriku serta yang lainnya menjadi waswas dan takut akan musibah itu menghampiri. Walaupun, sudah disediakan gerbong khusus perempuan, tetapi menurutku tidak cukup efektif dikarenakan jumlah angkutan yang sedikit dan penumpang yang membeludak membuat diriku akan berdempetan lagi di gerbong biasa. 

Selain di transportasi umum, nahasnya permasalahan itu juga harus kutemukan di lingkungan kampus, mulai dari rektor yang kebingungan ketika ditanya mengenai Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS), melihat poster katrok dan juga seksis (Si Cantik Milik Si Teknik), mendengarkan candaan dari kebanyakan mahasiswa yang hanya mengobjektifikasi tubuh perempuan, hingga terdapat dosen-dosen cabul berkeliaran.

Rasanya, aku hanya ingin hidup sebagai seorang perempuan yang memiliki rasa aman dan nyaman dengan apa yang aku lakukan dan kenakan sangat susah sekali di negara ini. Sialnya, orang tuaku juga menjadi pelaku yang merampas otoritas tubuhku, yaitu mereka seringkali menasehati agar aku tidak lagi menggunakan dress-dress yang lucu, menghias kuku, dan mewarnai rambut sesuka hatiku. Itu semua dikekang bahkan dirampas dariku. Katanya itu mengundang nafsu. 

Padahal, ketika aku membaca data dari sumber terpercaya mengenai pakaian yang paling banyak mendapat pelecehan seksual sebesar 17,47 persen adalah pakaian wanita berupa rok atau celana panjang. Menurutku itu sudah membuktikan, bahwa sesungguhnya pakaian itu hanya sebagai kambing hitam saja dan yang seharusnya dibicarakan adalah terkait laki-laki cabul itu bukannya malah mempermasalahkan apa yang aku kenakan katanya mengundang nafsu. Menurutku itu adalah tangkisan kuno dan dungu!

Sialnya laki-laki cabul itu terdapat dalam setiap sudut jalan atau komunitas-komunitas, seperti komunitas menulis, pergerakan, keagamaan, hingga literasi. Seperti yang aku alami sendiri, aku suka sekali berdiskusi mengenai apapun terutama pergerakan sehingga aku bergabung dengan salah satu komunitas yang cukup aktif mengenai hal tersebut. Pertama-tama yang aku rasakan dan bingung adalah, setiap kali diskusi pasti sampai larut malam, lalu setiap diskusi pasti didominasi oleh laki-laki, kemudian asap rokok bertebaran tak ada hentinya yang bikin aku sakit kepala, dan ternyata laki-laki gemar sekali mengobjektifikasi tubuh perempuan dan dijadikan bercandaan. Hal terakhir yang kusebut itulah musibah yang menamparku. 

Aku pikir seseorang yang sudah memakan banyak buku, perspektif dan perbuatannya juga akan maju, tetapi kenyataan yang aku lihat dan hadapi sendiri ternyata mereka itu sama-sama menjijikkan. Seringkali aku berpikir dan bergumam, kalau orang-orang seperti itu aslinya lebih kerdil dibanding hewan melata, bahkan kecoa. Hina dina!

Makhluk hina dina lainnya yang kutemukan lagi adalah oknum guru ngaji, tepatnya guru ngaji di mushola terdekat dari rumahku saat aku usia 17 tahun. Laki-laki tua cabul itu saat menyuruh diriku untuk melantunkan ayat suci Al-Qur'an, tetapi ia malah berdiam dan melihat payudara milikku. Pulang mengaji pasti aku menangis dan mengurung diri, membuat ibuku kebingungan kesana kemari. Ingin rasanya aku melaporkan perbuatan bejat guru ngaji ini kepada orang tuaku ataupun pihak berwenang, tetapi aku segera mengubur keinginanku itu, karena mereka sudah dipastikan tidak memercayai diriku dan malah memojokkan serta merendahkan apa yang sudah aku rasakan. 

Seringkali aku menangis, mengutuk diri sendiri, dan meracau berbagai hal. Mengapa aku lahir sebagai perempuan? Mengapa aku tidak lahir sebagai laki-laki karena setiap hal di dunia ini diciptakan untuk laki-laki, mulai dari aturan hukum, penegak hukum, tata ruang kota, akses transportasi umum, hingga rumah yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman. Akan tetapi, bagi diriku sebagai perempuan, nihil rasanya aku mendapatkan perasaan aman tersebut. Bayang-bayang mengerikan seperti pelecehan dan kekerasan seksual selalu menghantuiku!





Kontributor : Fiona Alexandra