(Foto: ilustrasi perempuan disabilitas dalam kungkungan kekerasan/chaerani-republiknews.co.id)

Beberapa waktu lalu dalam sebuah cuitan pada platform x di sebuah akun bernama @andreasharsono menceritakan tentang pengalaman pahitnya kehilangan seorang adik perempuannya, yang merupakan penyandang disabilitas mental akibat dari efek pelecehan seksual yang terjadi tepat di tanggal 6 Oktober 2024.

Peristiwa ini tentu bukan hanya sekedar peristiwa sekali dua kali dalam kehidupan bermanusia di negeri ini, melainkan tragedi berulang yang harus terjadi dan dirasakan oleh beberapa perempuan disabilitas sebab kerentanan yang ada. Dikutip dari Catatan Tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada akhir 2023 lalu, menyatakan terdapat 105 kasus di mana 40 kasus diantaranya paling tinggi dialami disabilitas mental serta kota dengan kasus tertinggi adalah Yogyakarta dengan capaian 26 kasus.

Meski adanya regulasi yang telah diatur dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) atau CEDAW dan telah diratifikasi (negara menerima perjanjian internasional dan melaksanakannya) oleh Indonesia pada 28 Juli 1984, tetapi hal itu tetap saja tak berimbas banyak pada kondisi keamanan perempuan dengan disabilitas sebab kebanyakan aparat penegak hukum atau undang-undang lain di negeri ini masih kental akan perilaku diskriminatif.

Bagi perempuan dengan disabilitas, hukum memanglah bukan suatu anugerah ataupun karunia melainkan hanya sekedar formalitas akibat tuntutan yang ada. Menurut data yang dirilis oleh Center for Improving Qualified Activity in Life of People with Disabilities (CIQAL) pada tahun 2020 terdapat 29 kasus kekerasan, tetapi tidak ada satupun yang berakhir dengan hukum pidana. Padahal, tertera jelas dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara Indonesia dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya hal itu jika dibandingkan dengan data bisa dikatakan nol besar. 

Adapun hal lain yang memperburuk mengapa hukum tak dapat menjamin keamanan perempuan dengan disabilitas, yaitu stereotipe akibat banyaknya anggapan bahwa orang dengan disabilitas sering kali dianggap tak mampu untuk bertindak akan dirinya atau dianggap lemah serta korban sering kali dibilang berbohong atau tidak dapat dipercaya. 

Dalam sistem hukum pidana Indonesia contohnya, penyandang disabilitas menghadapi diskriminasi ketika menjadi saksi. Pasal 1 Angka 26 KUHAP mendefinisikan saksi sebagai seseorang yang mendengar, melihat, dan mengalami suatu peristiwa pidana secara langsung. Definisi ini merugikan penyandang disabilitas, mereka dengan disabilitas sensorik pendengaran atau penglihatan dianggap tidak memenuhi kriteria saksi karena keterbatasannya. Begitu pula penyandang disabilitas mental dan intelektual, kesaksiannya sering diabaikan dan dianggap tidak kredibel. Pendekatan hukum ini mencerminkan apa yang disebut "rezim normalisme", yakni sistem yang hanya mengakui standar kemampuan mayoritas dan mengabaikan keberagaman manusia. Akibatnya, penyandang disabilitas kehilangan hak untuk berpartisipasi penuh dalam proses hukum dan pembuktian keadilan.

Belum lagi ketika berbicara mengenai fasilitas bagi para disabilitas, salah satu contoh dari tahap pelaporan kepada aparat kepolisian kerap kali mereka kesulitan memahami korban seperti keterbatasan ahli bahasa isyarat atau ruangan yang tidak ramah disabilitas. Selain itu, terdapat kondisi pola pikir yang belum baik terhadap disabilitas itu sendiri cukup memperpanjang buruknya sepak terjang keadilan terhadap perempuan penyandang disabilitas di negeri ini.

Banyaknya kasus yang hanya berujung pada mediasi atau damai seperti menempuh keadilan restoratif bagi para perempuan penyandang disabilitas, hal ini tentu sangat berbahaya sebab adanya ketimpangan antara posisi korban dan pelaku di mana adanya relasi kuasa yang terjadi, belum lagi trauma serta tidak terpulihkannya hak-hak korban menjadi alasan menempuh jalur di luar meja hijau bukan solusi terbaik untuk mencapai suatu keadilan. Tentunya mungkin juga dalam beberapa tahun kedepannya jika pihak yang memiliki kewenangan terus-menerus melakukan tindakan ini akibat paradigma berpikir klasik sebaik-baiknya jalan adalah dengan damai, maka tak heran jika nanti kejahatan besar berlapis ini akan dinilai sebagai orang layaknya mencuri sebiji beras dari satu karung.

Dua indikator besar yang telah dibahas seperti laporan mandek dan hukum yang sekedar dibuat tanpa keinginan menuntaskan permasalahan sudah sangat bisa dikatakan ikut serta dalam menyumbang kekerasan berlipat ganda yang terjadi terhadap perempuan penyandang disabilitas. Bagaimana tidak, peranan sentris yang menjadi tonggak penegakan keadilan saja tak mampu mewujudkan keamanan itu sendiri, mungkin nanti masyarakat bisa-bisa mencontoh tindakan bodoh dari pemerintah maupun aparat penegak hukum dalam memperlakukan perempuan disabilitas.

Maka, dapat dikatakan kehidupan yang dijamin dalam undang-undang sekalipun tak pernah ada harga ataupun arti, dan lucu rasanya ketika kita masih berteriak lantang “Indonesia negara hukum” ataupun lebih lagi jika bilang “negeri ini sudah merdeka” karena kenyataan pahit yang dialami kelompok marginal seperti perempuan penyandang disabilitas tak pernah sekalipun aman atau jauh dari kata tenang sedikitpun. Jika memang hal itu ada hanya sebatas pemanis atau aturan pajangan belaka maka dapat dipastikan mereka akan terus dihantui bayang-bayang kekerasan yang memang secara sistematis pemerintah itu sendiri ikut andil di dalamnya karena tidak pernah berbenah untuk sungguh-sungguh memperbaiki sistem yang carut-marut. 






Penulis : Na'ilah Panrita Hartono

Editor : M. Zacki P. Nasution