Malam di Jakarta seperti biasa ramai dengan suara klakson, lampu kendaraan berseliweran tanpa henti. Rose berjalan menembus keramaian menuju halte bus. Ia baru saja selesai menghadiri rapat organisasi kampus. Dengan tas penuh buku di pundaknya, ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan serta ada banyak pikiran berseliweran dan bersarang di kepala yang sebagian besar tentang rumah.
"Kenapa ya, rumah nggak pernah berasa kayak rumah?" gumamnya pelan.
Ia ingat bagaimana ibunya tadi siang menelpon, bukan untuk menanyakan kabarnya, tapi untuk mengeluhkan betapa ia selalu pulang terlambat. Suaranya penuh emosi, tanpa memberikan kesempatan bagi Rose untuk menjelaskan.
Rose merasa lelah, bukan hanya fisik tetapi juga hatinya. Ia tahu betul apa yang ia lakukan di luar rumah tidak pernah sepenuhnya disetujui orangtuanya. Akan tetapi, apa lagi yang bisa ia lakukan? Rumah hanya menjadi tempat singgah baginya, bukan tempat untuk bercerita.
—
Rose adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakaknya, Bimo dan Ardi, adalah kebanggaan keluarga. Keduanya sukses masuk ke universitas negeri ternama di Indonesia. Bimo sekarang bekerja di perusahaan multinasional, sementara Ardi sedang menempuh S2 di luar negeri.
Sedangkan Rose, ia hanya seorang mahasiswi biasa di universitas swasta. Setiap kali mereka berkumpul di meja makan, pembicaraan selalu berputar pada kesuksesan Bimo dan Ardi.
“Bimo baru aja naik jabatan, lho,” kata ayah dengan bangga suatu malam. Ibu mengangguk antusias. “Ardi juga nggak lama lagi pulang, katanya dia dapat beasiswa tambahan buat risetnya di kampus,” tambah ibu.
Rose hanya duduk diam, memainkan nasi di piringnya tanpa benar-benar mendengarkan. Tak ada satu pun dari mereka yang menanyakan bagaimana kuliahnya atau apa saja kegiatan yang sedang ia jalani.
“Oh iya, Rose, kapan kamu lulus?” tanya ayah, lebih seperti basa-basi daripada sebuah perhatian.
“Masih satu tahun lagi, Yah,” jawab Rose singkat.
Percakapan langsung beralih kembali ke Bimo dan Ardi. Rose tersenyum pahit. Ia tahu dirinya tak bisa bersaing dengan kedua kakaknya di mata orangtuanya.
—
Ketidaknyamanan di rumah membuat Rose menjadikan kampus sebagai pelarian. Ia bergabung dalam beberapa organisasi, menjadi panitia berbagai acara, dan aktif dalam kegiatan sosial. Kampus memberikannya ruang untuk menjadi dirinya sendiri tanpa perlu dibandingkan dengan siapapun.
“Rose, kamu nggak capek ikut kegiatan sebanyak ini?” tanya salah satu temannya, Nia, suatu sore saat mereka tengah menyiapkan acara kampus.
Rose menggeleng. “Justru kalau nggak ada kegiatan, aku malah ngerasa kosong,” jawabnya.
Namun, semakin banyak kegiatan yang diambilnya, semakin sedikit waktu yang ia habiskan di rumah. Hal ini menimbulkan konflik baru dengan orangtuanya. Mereka sering memarahi Rose karena pulang terlambat, tetapi tidak pernah mencoba memahami alasannya.
“Kamu itu perempuan, nggak baik pulang malam terus!” ujar ibu suatu malam.
“Aku ada rapat, bu. Kalau aku nggak ikut, acaranya nggak akan selesai tepat waktu,” balas Rose dengan nada lelah.
“Terserah kamu aja lah, Rose. Kamu tuh susah banget diatur!” balas ibu sambil menghela napas panjang. Rose hanya diam, hatinya kembali terluka.
Hubungan antara Rose dan orangtuanya semakin merenggang. Mereka jarang berbicara kecuali untuk hal-hal yang mendesak. Orangtua Rose merasa anak bungsu mereka semakin tidak peduli, sementara Rose merasa orangtuanya tidak pernah mencoba memahami dirinya.
“Kenapa sih, mereka nggak pernah mau dengerin aku?” keluh Rose kepada Nia suatu malam.
“Mungkin mereka nggak sadar kalau yang mereka lakukan bikin kamu ngerasa nggak dihargai,” jawab Nia mencoba menenangkan.
Rose menggeleng. “Aku udah capek, Nia. Mereka cuma ngeliat aku sebagai anak yang bandel, bukan sebagai Rose yang punya mimpi dan perjuangan sendiri,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Suatu malam, Rose pulang lebih larut dari biasanya. Ia baru saja selesai menghadiri acara kampus yang ia organisir selama berminggu-minggu. Ketika ia membuka pintu rumah, ayah sudah menunggunya di ruang tamu dengan ekspresi marah.
“Kamu tuh nggak pernah belajar ya? Ini udah jam berapa, Rose?” suara ayah menggema di ruangan.
“Aku habis acara kampus, yah. Aku udah bilang minggu lalu kalau malam ini pasti pulang telat,” jawab Rose mencoba tenang.
“Alasan terus! Kamu pikir kuliah di kampus biasa itu alasan buat sibuk? Kakak-kakakmu aja yang kuliah di kampus top nggak pernah kayak kamu!”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Rose. Ia tak bisa menahan diri lagi.
“Kenapa sih semua harus dibandingin sama kakak-kakak? Aku ini Rose, Yah! Aku bukan Bimo atau Ardi!” teriaknya sambil menangis. “Kenapa sih nggak pernah ada yang mau lihat aku sebagai diriku sendiri?”
Ayah terdiam, terkejut dengan ledakan emosi anak bungsunya. Namun, ia tidak berkata apa-apa lagi. Rose berlari ke kamarnya, meninggalkan ayahnya dalam keheningan.
—
Keesokan harinya, Rose terbangun dengan rasa berat di dadanya. Ia masih merasa terluka, tetapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk menghadapi semuanya. Setelah makan siang, ibunya mengetuk pintu kamarnya.
“Rose, boleh Ibu masuk?”
Rose menatap pintu dengan ragu, lalu mengangguk. “Masuk aja, Bu.”
Ibu duduk di tepi ranjang Rose, wajahnya terlihat lebih lembut dari biasanya. “Ibu pengen kita ngobrol, Rose. Mungkin udah terlalu lama kita nggak benar-benar bicara.”
Rose terdiam. Ia menunggu kata-kata berikutnya dari ibunya.
“Ibu tahu selama ini kamu ngerasa nggak didengar. Mungkin Ibu dan Ayah terlalu fokus ke kakak-kakakmu, sampai lupa kalau kamu juga butuh perhatian yang sama. Tapi itu bukan karena kami nggak sayang kamu, Rose. Kami cuma nggak tahu gimana caranya,” suara ibu mulai bergetar.
Rose merasakan sesuatu mencubit hatinya. Ia ingin marah, tapi kejujuran ibunya membuatnya tak bisa berkata apa-apa.
“Rose, Ibu cuma pengen kamu tahu, apapun yang kamu lakukan, kami selalu sayang sama kamu. Mungkin caranya nggak selalu benar, tapi niatnya nggak pernah berubah,” lanjut ibu sambil menatap Rose penuh harap.
Air mata mulai menggenang di mata Rose. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara.
“Bu, aku cuma pengen dilihat sebagai Rose, bukan cuma bayangan dari kakak-kakak. Aku juga capek kalau terus dibandingin. Aku pengen ibu sama ayah tahu, aku juga berusaha. Aku cuma pengen didengar, bu,” suara Rose bergetar di akhir kalimatnya.
Mereka terdiam, tenggelam dalam keheningan dan pikirannya masing-masing.
Penulis: Dinda Aulia
0 Comments