Kereta api saat pagi selalu sibuk. Minju sendiri tidak heran dengan pemandangan yang selalu ia lihat sehari-hari. Orang-orang berdesakan dan selalu terburu-buru, ada juga yang sedang sibuk dengan ponselnya. Lalu yang paling sering Minju lakukan adalah memasang wajah kosong ke arah luar jendela.
Pagi itu seperti biasa, dia naik kereta dari stasiun terdekat dan harus transit sebanyak dua kali sebelum melanjutkan perjalanan ke kampusnya. Begitu sampai di Tanah Abang, ia menguap terus-menerus. Matanya sangat terasa berat, mungkin karena efek tiap malam selalu tidur larut.
Sebelum ia turun untuk berganti peron, matanya tertuju kedai Roti O yang ada di pojok stasiun. Dan tanpa berpikir terlalu lama, dia segera melangkah ke sana. Aroma roti yang sedang dipanggang seakan menyambut kedatangannya. Tetapi kali ini bukan roti tujuannya, melainkan segelas kopi.
Satu cup kopi telah Minju terima di tangannya. Dia menyeruput sedikit demi sedikit kopi dengan rasa cappucino tersebut sebelum berjalan ke arah peron. Rasa cappucino yang telah ia telan pun seketika menyadarkan sedikit.
Saat dia berdiri di dekat peron dan menunggu kereta datang, ada sesuatu yang mengejutkan Minju. Ya, tiba-tiba seseorang berdiri di sebelahnya. Seorang Pria.
Minju tidak tahu dari mana dia muncul. Yang Minju tahu adalah, beberapa detik lalu, tempat di sebelahnya itu masih kosong. Tapi sekarang, dia sudah berdiri di sana, di sebelah Minju. Dia berdiri dengan tenang bak santai, earphone yang menggantung di telinganya, dan kedua tangan yang dia masukkan ke dalam saku jaket.
Minju mencoba untuk mencuri pandang sekilas sambil menyeruput kopinya lagi. Ada sesuatu dari pria itu yang sangat menarik perhatiannya.
Kereta menuju Manggarai pun datang, Minju bergegas naik ke dalam untuk mencari bangku kosong. Ketika Minju duduk, dia baru menyadari beberapa menit setelahnya bahwa pria itu kini duduk tepat di depannya.
Dia mencoba untuk fokus ke ponselnya saja, tapi entah kenapa, ada magnet yang membuat Minju harus lagi dan lagi menatap pria itu. Sesekali, ia mengangkat kepalanya dan disaat yang sama, mata mereka bertemu.
Dengan cepat ia mengalihkan pandangannya, tetapi, itu terus terjadi lagi. Tatapan yang sama. Ia menyeruput kopinya perlahan, mencoba menetralkan perasaannya, debaran jantung yang entah sejak kapan mulai tidak karuan.
Mungkin ini hanya kebetulan, atau memang rencana semesta, bisa juga takdir. Namun, ada sesuatu yang istimewa dari sorot matanya.
Perjalanan menuju Manggarai pagi ini terasa lebih singkat daripada biasanya. Saat sampai, Minju turun. Dia kira pria itu akan tetap di dalam untuk melanjutkan perjalanannya yang entah akan ke mana. Tapi ternyata, dia juga turun.
Minju berjalan menaiki tangga untuk berganti peron ke arah Jakarta Kota. Entah bagaimana bisa, pria itu berjalan di sebelahnya. Langkah mereka sejajar, meskipun tidak ada kata yang terucap. Tentu saja seperti orang asing yang biasa mereka temui di perjalanan ini.
Minju masih sibuk dengan ponselnya. Lalu tibalah saat seseorang turun dari atas melewati tangga yang salah, seharusnya tangga itu untuk pelanggan naik. Ia tidak melihatnya, hampir saja ia bertabrakan dengannya, jika bukan karena satu suara yang menghentikan langkahnya.
“Awas, Kak.”
Minju terkejut. Pria itu. Dia mengangkat tangannya sedikit, seolah memberi isyarat agar Minju berhenti. Ia terpaku, sementara orang yang tadi salah jalur itu pergi begitu saja tanpa mengucap satu kata pun. Suaranya tidak keras, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdebar kencang.
Minju menyeruput kopinya lagi, mencoba mencari alasan untuk menenangkan diri. Tapi rasanya percuma. Karena efek kopinya kalah dengan kejadian yang baru saja terjadi.
Setelah itu, pria tersebut melanjutkan jalannya dengan cepat, mengejar kereta yang telah datang. Sementara Minju, masih dengan pikirannya, mencoba memproses apa yang telah terjadi dengannya pagi ini.
Minju akhirnya menaiki kereta yang sama dengan pria itu. Tapi, kali ini mereka tidak berdekatan. Minju berdiri di depan pintu, sementara pria itu berada di sudut lain.
Minju sangat ingin berbicara. Tadi, ia belum sempat mengucapkan terima kasih kepada pria itu. Namun, kata-kata itu seakan tidak akan pernah terucap darinya.
Minju menggigit bibirnya, berusaha mengumpulkan keberanian. Tapi setiap kali dia ingin mencobanya, selalu saja ada hal atau sesuatu yang menahannya.
Mungkin, ia takut jika pria itu tidak meresponnya sesuai dengan harapannya. Mungkin, Minju juga terlalu penakut. Terlalu banyak “mungkin” yang sedang dia pikirkan. Ketika kereta sampai di Cikini, Minju bergegas turun. Ia menoleh ke belakang, hanya untuk melihat sesuatu yang mengejutkan. Ya, pria itu juga turun di sini, di Cikini.
Minju berjalan santai untuk sampai ke pintu keluar, seraya menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Dia merasa ada sesuatu yang menggantung di udara. Tapi ia tak tahu harus berbuat apa.
Minju sebenarnya membuat janji di stasiun Cikini dengan kelima teman-temannya untuk berangkat ke kampus bersama-sama. Tapi sebelum itu, ia memutuskan untuk pergi ke toilet sebentar.
Saat melewati bangku di dekat pintu keluar, ia melihat pria itu duduk di sana. Dia tampak sibuk dengan ponselnya, mungkin sedang memesan ojek online atau sekedar mengecek sesuatu sebelum pergi. Minju menatapnya beberapa detik sebelum masuk ke dalam toilet.
Beberapa menit kemudian, saat ia keluar, bangku itu sudah kosong. Pria itu sudah tidak ada di tempat tadi. Minju menyesap kopinya yang sudah dingin. Lalu ia melihat sesuatu di bangku itu. Sebuah tiket kereta, sedikit terlipat di ujungnya.
Ia melangkah mendekat dan mengambil tiket itu. Awalnya ia berpikir seseorang mungkin lupa untuk membuangnya. Tapi ketika ia membalik tiket itu, ada sesuatu yang membuatnya terkejut.
“Sampai jumpa lagi?”
Tulisan itu tertulis dengan tinta hitam dan sedikit miring. Minju menatap tiket itu lama, jantungnya berdebar. Mungkinkah… ini miliknya? Atau ini hanya kebetulan lagi yang datang terlambat? ataukah ini hanya permainan dari semesta? Ia mengangkat kepala dan menoleh ke sekitar. Tapi pria itu sudah benar-benar tidak ada.
Minju menyimpan tiket itu di dalam sakunya, membiarkan pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan yang menghantuinya dan untuk pertama kalinya, ia berharap esok pagi, ia akan melihatnya lagi di peron yang sama.
Namun, hari-hari pun berlalu, dan pria itu tidak pernah muncul lagi. Minju mulai bertanya-tanya, apakah ia terlalu membesar-besarkan sesuatu yang seharusnya tidak lebih dari pertemuan singkat?
Sampai suatu sore, saat ia keluar dari kafe dekat kampus, ia melihat seseorang berdiri di seberang jalan. Earphone masih menggantung di telinganya. Jaket yang sama dan mata yang, sekali lagi, bertemu dengannya.
Jantung Minju berdegup kencang. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia bisa saja berpaling, berpura-pura tidak melihatnya. Namun, ia tahu, ia akan menyesal jika melakukannya. Jadi, untuk pertama kalinya, ia memberanikan diri. Ia melangkah mendekat dan sebelum sempat mengatakan sesuatu, pria itu tersenyum kecil.
"Bukannya kita sering satu kereta?"
Pria itu mengingatnya. Suaranya, kali ini, sama sekali tidak terdengar buru-buru seperti saat di peron sebelumnya. Tidak terdengar seperti sapaan sekilas kepada orang asing.
Minju tersenyum kecil. "Kamu baru sadar sekarang?”.
Pria itu tersenyum balik dan mengangkat bahunya. "Atau mungkin aku hanya menunggu momen yang pas, dan semesta baru saja mengizinkan kita untuk bertemu kembali.”
“Kupikir aku tidak akan melihatmu lagi,” lanjutnya.
Minju menggenggam tiket kereta di sakunya, tiket yang telah lama ingin ia kembalikan, tapi juga ia simpan sebagai harapan.
“Aku juga sempat berpikir begitu."
Pria itu tertawa kecil. "Tapi ternyata, semesta berbaik hati.”
Dan saat itu, untuk pertama kalinya, Minju merasa bahwa perjalanan ini baru saja dimulai.
Penulis : Reysa Aura Putri
0 Comments